Yang sering nanya, bima kapan nongol, mohon bersabar ya. Karena gini. Menyesuaikan judulnya 'Kotak Memori', artinya semua yang ada di cerita ini berpusat ke arimbi. Dan memorinya arimbi, nggak cuma berisi bima kan. Dia juga punya masa lalu, yg nggak bisa dibuang gitu aja. So sabar ya. It's time for Orlan. Bima adalah nanti. Di akhir mungkin. Tahu kan kalau pemenang itu dikeluarin belakangan. 😁😁
Belum diedit, tandai aja kalau ada typo yes.
Makasih untuk kesabarannya, luv.
***
Kampungan sekali cara berdetak jantung Arimbi saat ini. Membuat ia duduk tidak tenang, padahal ini bukan kali pertama ia mendiami kursi ini. Membuat ia sedikit sesak napas, padahal ia cukup familiar dengan wangi air conditioner mobil yang berpadu parfum maskulin milik Orlan. Canggung, benak dan darah yang berdesir sukses membuat Arimbi jadi kelabakan.
"Ayah nggak macem-macem kan, tadi?"
Entah mendapat keberanian dari mana, Arimbi tiba-tiba melontarkan pertanyaan tanpa dipikirkan lebih dulu. Pasalnya ia penasaran, pada beberapa menit yang disempatkan Orlan untuk kembali meminta izin Ayahnya secara langsung. Padahal tidak perlu, karena Arimbi sudah jelas mengantonginya. Tapi menurut Orlan sangat perlu. Katanya, 'aku capek disembunyiin terus dari Ayah kamu.' Satu kesimpulan, di masa lalu Daisy memang tidak pernah mengizinkan Orlan menemui sang Ayah.
Orlan tersenyum kecil, "khas seorang Ayah yang cinta mati sama putrinya sih. Bilang jangan macem-macem, saya balikin jadi gelandangan kalau berani nyakitin anakku."
"Gelandangan?"
"Aku pernah hidup susah juga, Dai. Dan Ayah kamu saksinya."
"Maaf."
"Kenapa minta maaf? Nggak ada yang salah kok."
"Tapi, Ayahku kelihatan ngeremehin kamu gitu. Maaf."
Pria itu tertawa. Bukan kecut, seolah ini benar-benar lucu. "Udah biasa itu. Udah sering dapet. Tapi ya udahlah, anggap aja itu pecut. Karena bisa dibilang, kamu dan ayah kamu itu adalah alasan yang mengantarkanku sampai titik ini. Kalau bukan dari sidang Ayah kamu, sampai penolakan kamu di masa itu, aku nggak akan pernah berdiri sebagai Orlan yang sekarang. Makasih, Sayang."
Jantung Arimbi berdetak asing lagi. Pria di balik kemudi dengan tatapan lurus ke depan itu, sukses memaku mata Arimbi pada sosoknya. Cukup terkesima, Arimbi jadi tak tahu malu untuk memandang lekat seorang Orlan. Membuat beberapa syarafnya lumpuh untuk sekadar mengulas senyum lebih-lebih menggetarkan pita suara.
Detik terus berganti. Batupun suatu saat bisa berubah jadi butiran pasir. Abaikan soal mental yang Ayah persoalkan. Karena Arimbi tahu, Orlan yang sekarang bukan lagi Orlan yang lalu. Orlan lebih dari pantas untuk dijadikan pelindung bagi hidup seorang gadis yang rentan.
***
Cafe di dekat bandara. Orlan tidak membual, karena mereka benar-benar berakhir di tempat yang berdekatan dengan landasan pacu. Beberapa meter dalam perjalanan tadi, dua atau tiga kali Arimbi menyaksikan hilir mudik si burung besi. Matanya sontak memanas. Ada yang menggeliat dalam benak.
"Ayo turun."
Arimbi mengangguk kecil, mengikuti pergerakan lincah Orlan. Lolos dari kungkungan sedan, Arimbi disambut deru keras yang memekakkan telinga. Otomatis kepalanya langsung tertoleh. Lantas tersenyum karena menangkap sebuah pesawat yang baru saja take off dengan mulus.
Ia jadi membayangkan dirinya berada dalam sana. Mungkin masih melekat sensasinya, hingga nyata sekali tergambar dalam otak. Dalam menit-menit ini, ia masih didekap aman oleh sebuah sabuk. Dalam hati pasti berdebar, namun senyum tak boleh tertinggal. Ah, Arimbi rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...