Kalau ada bunga tidur yang setia berkunjung ke malam Arimbi, itu tidak jauh-jauh dari potongan-potongan tak beralur dan tak beraturan—yang barangkali berasal dari masa lalu. Mengajaknya berpetualang di awal, lantas berakhir mengejeknya setelah sukses menyesatkan ia. Arimbi seringkali bangun dengan napas terengah juga bumi yang berputar di depan mata. Sebahagia apapun, seindah apapun mimpi itu, Arimbi selalu saja berakhir membencinya.
Dan belum pernah Arimbi disambangi mimpi dengan hawa sejuk seperti sekarang. Bayangkan saja, ambang pintu ini tak ubahnya suasana tepian negeri di atas awan. Dan kalau hati itu transparan, mungkin setiap mata akan melihat bunga yang bermekaran di sana. Kalau detakan jantung itu bernyanyi bak dentingan piano, barangkali setiap mereka yang bertelinga akan mengambil kursi, lantas duduk menikmati.
"Bee, aku datang buat jemput kamu. Kok malah bengong?"
Jemput?
Hei, bangunkan Arimbi. Tampar ia yang tengah digulung senyum semu seorang pangeran dari negeri seberang hingga tersadar. Demi apapun, dia bukan barbie apalagi si beruntung cinderella. Dia hanya gadis sial, yang bertubi-tubi disambangi ketidakberuntungan. Bangunkan Arimbi, sebelum mimpi itu menyesatkan ia lebih dalam. Karena semua keindahan itu hanya bentukan fatamorgana. Karena semua keindahan itu akan lenyap saat kelopak matanya berkedip. Dan jika itu semua benar-benar berlalu, Arimbi rasanya tak akan lagi sanggup untuk sekadar mengepakkan kaki dan tangannya demi sebuah daratan yang telah ia tinggalkan.
"Bee?"
Ah. Arimbi tergagap mengumpulkan kesadaran. Sontak jantungnya hampir lepas, saat merasakan sapuan lembut pada rambutnya yang diacak oleh sebuah tangan besar. Oke. Nyatakah ini? Atau mimpi kah sentuhan yang membuat lututnya melemas ini?
"Aduh, Bima. Maaf, aku linglung sendiri," tandas Arimbi dengan malu-malu.
Pria itu terkekeh singkat, "terima kasih juga untuk pertunjukan wajah bengong cantiknya."
Tiga hal yang tengah melanda Arimbi saat ini. Merona, panas dingin, dan terakhir, ingin berteriak pada Bima untuk berhenti melemparnya ke awang-awang. Arimbi lebih dulu menghela napas. Menipiskan malu, berkat tawa kemenangan Bima.
"Bima mau jemput aku? Nggak salah?"
Tegas, Bima menggeleng. Makin tak kasihan pada jantung Arimbi karena detik berikutnya, pria itu sudah memenjara jari-jari kecil Arimbi dengan jari-jarinya yang besar. Menghemat setengah langkah, demi bisa menyamai langkah tertatih si gadis. Berhiperbola sejenak. Lorong yang keduanya lalui mendadak diiringi jajaran bunga-bunga. Langit-langit yang memayungi mendadak mengeluarkan dentuman musik cinta.
Aduh. Arimbi tak bisa mengangkat matanya dari genggaman tangan nan hangat itu.
"Kamu dapat teman lain di sini?"
Yang benar-benar masuk kriteria teman, tak Arimbi dapatkan. Tapi ia tidak boleh membuat dirinya kelihatan semengenaskan itu di depan Bima, "Suster Dini baik sama aku, Bim. Anak kecil tadi, aku juga seneng ngobrol sama dia."
"Cuma mereka?"
"Kenapa memangnya?"
Bima menggeleng, tersenyum singkat. "Sudah ada yang nawarin kamu rumah?"
"Rumah?"
"Oh, belum."
"Maksudmu apa, Bim?" Arimbi makin tak paham.
"Ini rumah sakit, Bee, bukan rumah," balas Bima berputar-putar. "Bukan tempat yang tepat buat kamu tinggal. Bukan tempat yang tepat buat menghabiskan hari. Dan aku punya sebuah rumah. Jadi, ayo pulang sama aku ke rumah yang sebenarnya."
⬛⬛⬛
Bima membawakan ia satu tas. Benar-benar niat, kan?
Arimbi menahan senyum. Hatinya mengembang hebat, saat telaten memasukkan beberapa lembar pakaian hasil dari pemberian suster dan dokter rumah sakit ke dalam tas jinjing. Bahagia memang, tapi tetiba rasa sedih ikut mengambil porsi. Alasannya sederhana, ketika beberapa suster dan perawat memberinya pelukan perpisahan. Saat mereka bergantian, memberikan selamat juga semangat untuk kehidupan barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
Fiction généraleBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...