19 | Dia yang Tahu Banyak Hal

13.1K 2K 215
                                    

Aku nggak bisa melek semalam, Mian.

Dan aku tetep nyebut Bee, sebagai Arimbi aja ya. Biar konsisten aja sampai belakang.

⬛⬛⬛⬛

Ia dan Lily itu, bak sebuah nyawa yang terbelah jadi dua. Ditiupkan pada detik yang sama, lantas hidup dan tumbuh pada sebuah kantong yang lentur namun tak tertandingi kekuatannya. Keduanya dibiasakan berbagi sejak masih seukuran biji jagung. Keduanya diajarkan berbagi udara dan darah sejak mata dan bibir mereka belum terbentuk. Sudah diajarkan berbagi kasih sayang dan cinta, sejak detak jantung mereka belum ditemukan.

Wajah mereka identik, postur tubuh mereka hanya berbeda dua sentimeter. Tapi jangan pernah lupa, bahwa keduanya adalah dua jiwa yang berdiri masing-masing. Mereka punya dua hati yang berbeda. Punya dua otak yang tak sama. Mereka benar-benar hidup dengan pribadi yang berseberangan. Membuat Lily dipandang sebagai si ramah dan si lemah. Sedang Daisy atau Arimbi disebut sebagai si tak acuh dan si kuat.

Selalu bersama dengan dia yang berwajah serupa namun tak satu karakter, tak melulu akan bercerita soal saling melengkapi. Karena ada masa di mana Liliy ingin dipandang kuat seperti Daisy. Ada pula masa di mana Daisy ingin diperlakukan lembut sebagaimana semua orang menyentuh Lily.

Yang terjadi, semakin dewasa, egoisme makin menggelora dalam diri mereka. Semakin mengerti dunia, makin berkenalan pula mereka pada rasa bernama posesif, cemburu, dan iri pada satu sama lain. Pangkalnya, sepasang kembar ini tak jarang terlibat dalam sebuah pertengkaran untuk melindungi apa yang mereka rasa telah jadi miliknya lebih dulu. Entah itu hanya sebuah tas, perhatian Ayah dan Bunda, seorang teman. Bahkan ... seorang Andra.

"Dai ... ini kamu?" selain tangis, racauan bernada setengah tak percaya ini terdengar pilu. "Ini benar kamu, Dai. Ini benar kamu."

Ia ingin jadi Arimbi saja. Ia hanya ingin tetap tinggal di rumah ini bersama Bima. Ia ingin jadi Arimbi saja. Gadis dewasa yang terlahir kembali, tanpa beban di atas pundaknya.

Sungguh, ia ingin mendorong Lily menjauh, sebab pelukan ini membuat dia mengingat banyak hal menyakitkan. Arimbi ... tak ingin ingat apapun lagi soal kehidupan Daisy. Arimbi tak ingin menemukan sayatan lebar pada hati yang disembunyikan rapat oleh lupa yang membungkus.

Rangkulan Lily terlepas juga. Berganti, gadis itu merangkum wajah Arimbi dengan dua tangan yang bergetar. Seorang gadis seperti sedang bercermin. Sama-sama berderai kristal bening. Sama-sama berbagi berbagai macam rasa dalam benak.

"Kami semua nyariin kamu, Dai. Bunda, dia kurus banget karena selalu mikirin kamu. Ayah juga berkali-kali jatuh sakit. Dan terima kasih Allah, kamu masih sehat di depanku sekarang. Kamu ... tidak ada yang sakit kan, Dai? Tidak terluka kan Dai? Dai ... bicara. Tolong bicara."

Sakit. Siapa bilang Arimbi tidak sakit? Dia menanggung gunungan kecewa, lantas lautan penyesalan yang terkirim dari masa lalu. Arimbi sakit di sana-sini. Dia merasa bersalah sekaligus merasa diberi ketidakadilan dalam satu waktu.

"Maaf, Dai. Maafin aku."

Maaf untuk yang mana? Untuk telah menjadi lemah dan membuat ia selalu dinomorduakan oleh Ayah dan Bunda? Untuk telah merebut semua perhatian orang dan menyingkirkan Arimbi tanpa sadar? Atau untuk telah semudah itu mendapatkan hati Andra sementara Arimbi berkali-kali gagal?

Banyak sekali kalimat yang ingin Arimbi lontar. Sayang saja Arimbi terlalu kaku untuk membuka dua belah bibirnya. Terlalu lemah, untuk sekadar menggerakkan lidah. Gadis itu hanya bisa merasakan panas di dua bola mata. Hanya bisa merasakan luka yang perlahan kembali terbuka.

"Dai ... aku batalin pernikahanku sama Andra. Aku ... menyesal karena mempertahankan dia dan malah salah membaca perasaanmu. Aku menyesal karena pernah jadi sejahat itu sama kamu. Dai ... kamu memendam semuanya sendirian kan. Kamu cuma diemin aku, tapi kamu belum sempet caci maki aku. Kamu bol—eh sekarang, Dai. Kamu boleh teriak kalau—"

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang