Selamat datang di part terakhir.
Ini adalah ujung dari pangkal yang pernah saya mulai. Iyup. Ini ending, saya ndg mau PHPin kalian, dengan cara mundur2in part endingnya. Takutnya nanti kalian bosen, gitu. 😁
part ini cukup panjang loh. 4000 kata dari yang semula saya mau stop di 2k kata. Tapi apa daya. Aku masih punya sedikit ide manis buat bima-daisy sih, jadi ya tuangin aja sekalian.
Warningnya. Di sini aku nebar lumayan banyak ranjau. Jadi maaf kalau itu malah mengganggu kalian. So, hati-hati saja ya. 😁😁
****
Sebut saja ini jebakan. Pada awalnya Bima merasa sebagai korban. Bima hanya lakon, sementara Om Nara, Lily, dan semua keluarga Arimbi adalah otak utama semua rencana ini. Tapi Bima tak merasa merugi, alih-alih merasa terbantu. Ia jadi tahu langkah mana yang harus ia ambil, tangga mana yang harus ia undaki, tempat mana yang harus ia datangi.
Dan jebakan natural itu mungkin akan di mulai dari detik ini.
Bima berdiri di tengah keramaian bandara. Ia diam, dengan jantung yang berkejaran. Lily mengirim pesan beberapa saat yang lalu, katanya Arimbi dengan diantar Ayahnya sudah dalam perjalanan menuju tempat ia mematung dengan gugup. Sungguh, ia sangat merindukan gadis itu. Tahu bahwa beberapa menit lagi, ia bisa menatap bola mata kecintaannya, perasaan Bima jadi tidak tenang. Jadi tak sabaran. Jadi... ah, tak tergambarkan lagi.
Lalu waktu yang Bima tunggu itu datang pula di depan netranya. Sedan putih yang berkali-kali ia temui muncul di area drop out penumpang. Tak lama dari itu, tubuh cukup tinggi dengan postur ramping terpampang. Lama tak melihat, Bima jadi semakin sadar bahwa Arimbinya seindah itu. Secandu itu untuk dipandang. Sangat mustahil untuk dilewatkan.
Masih dari jarak cukup jauh, Bima mengikuti setiap laku gadisnya. Arimbi yang memeluk singkat sang Ayah. Arimbi yang mengangguk sedikit malas pada beberapa wejangan yang mungkin terkali-kali ia terima. Arimbi yang mendorong tubuh Ayahnya untuk segera pergi, Arimbi yang melambaikan tangan dengan senyum menawan. Juga, Arimbi yang kemudian memasang wajah sendu tatkala matanya berkeliaran ke segala sudut bandara.
Entah apa yang membayanginya. Mungkin masih terngiang tentang Orlan. Masih terjebak dengan segala kenangan yang pria itu buat.
Tapi itu tak berlangsung lama. Seirama dengan tekad Arimbi untuk sembuh dengan cepat, ia jadi bisa mengendalikan hati dengan lihai. Sepasang kaki jenjang berbalut jeans hitam itu mulai terayun, menyadarkan Bima bahwa ia harus berhenti jadi patung.
"Bee?" teriak suara serak Bima sedikit keras.
Suasana ramai, tak jadi penghalang untuk mengantarkan suaranya pada Arimbi. Lihat saja, gadis itu terdiam, tampak mencari-cari. Hanya saja, Bima sedikit terjebak di balik beberapa kerumunan. Membuatnya tak terlihat, membuat Arimbi kembali mengayunkan kaki. Lebih cepat, Bima mengejar.
"Bee, tunggu sebentar," ulang Bima masih dengan berteriak. Tak ia pedulikan tatapan terganggu beberapa orang. Yang jantungnya pedulikan, hanya senang karena gadis itu menemukannya. Berhenti, bersedia menunggunya yang sedikit tertinggal.
"Bima?"
Sungguh, tak usah ditanya bagaimana cara jantung Bima bekerja. Tak usah pula ditanyakan seberapa deras darah Bima mengalir. Tak usah mencari tahu, bagaimana rupa hati Bima sekarang ini. Segalanya menakjubkan. Pelangi mungkin kalah berwarna dengan rangkaian rasa yang mendera.
Rasa rindu yang menggelegak itu, Bima tahan sekuat tenaga. Ia katakan, bahwa ini belum saatnya. Ia tuturkan, bahwa bukan dengan menyerang melalui sebuah dekapan, adalah jalan untuk mendapatkan Arimbi seutuhnya. Jadi segila apapun keinginan Bima untuk memeluk, tetap akan ia tunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...