Mon-night bareng Mas Bim aja ya?
⬛⬛⬛⬛
Awalnya canggung malapisi seluruh jengkal kulit dan wajah Arimbi. Tiap kali bersitatap atau bersua kulit dengan Bima, dia berjengit bak disentuh aliran listrik. Pipinya langsung terbakar. Jantungnya bak diayunkan oleh angin ribut. Arimbi yang belum terbiasa dengan segala sentuhan dan pandangan itu benar-benar seperti gadis penyakitan.
Dan hanya butuh seminggu, untuk membuat gadis itu berubah. Tentu saja ke arah yang baik.
Orang bilang, kenyamanan akan tumbuh apabila disiram dengan sebelangga kebiasaan. Terbiasa berbagi meja makan bersama Bima. Terbiasa berbagi sofa ruang keluarga saat malam hari. Bahkan berbagi air dingin dari botol yang sama. Semua kebiasaan kecil itu mengantarkan Arimbi pada satu titik bernama nyaman.
Kalau ada yang belum berubah dari diri Arimbi mungkin hanya detakan jantung. Bau tubuh Bima di sekitaran indera selalu gagal membuat jantung Arimbi paham akan sopan santun. Lebih-lebih, jika tangan Bima sudah beraksi dengan memberikan usapan di rambut hitam Arimbi ataupun pada dahinya yang terlipat-lipat. Sudah. Jantung Arimbi bak buruh yang sedang berdemo melalui mogok kerja.
"Bee?"
Arimbi balas bergumam pada pria yang baru saja keluar dari sarangnya. Gadis itu masih sibuk dengan semur telur dan beberapa potong tahu yang sementara ia bumbui. Tuan rumah ini punya selera makan mengerikan. Terang-terangan Bima pernah berkata, selalu ingin makan besar meski itu pada pagi hari.
Jadi sebagai gadis yang tak akan pernah melupakan semua kebaikan Bima, Arimbi dengan senang hati bangun pagi-pagi untuk berkutat dengan menu-menu yang berbeda tiap harinya. Tidak ada unsur keterpaksaan, karena Arimbi pun selalu menunggu saat di mana ia bisa berbagi meja makan dan bertukar cerita dengan Bima.
"Masak apa, Bee?" tanya Bima setelah duduk di kursi di mana ia biasa memperhatikan Arimbi yang tengah memasak seminggu belakangan.
Arimbi menoleh singkat. Mencebikkan bibir pada pria tidak peka itu, "semur telur. Sayuran di kulkas habis, Bim. Gimana, dong?"
"Astaga," Bima tersedak kopi dingin yang tengah diseruputnya. "Itu kode minta uang belanja ya? Duh, maaf Bee. Maaf. Tunggu sebentar ya, aku ambil uangnya dulu," tambahnya, lalu menghilang di balik pintu kamar.
Baru kali ini Arimbi diserang sebal pada pria itu. Bima sering membuka kulkas, untuk mengambil buah segar, untuk mendapatkan air dingin, atau bahkan sekadar menyelamatkan diri dari udara panas yang membakar kulit akhir-akhir ini. Melihat itu, Arimbi sempat berharap bahwa Bima akan sadar seberapa lowong kulkasnya, lalu memberinya beberapa lembar uang untuk kembali berbelanja.
Tapi harap sekadar harap. Karena Bima akan menutup kembali pintu kulkas, begitu apa yang dia inginkan telah didapat. Dia sama sekali tidak sadar, bahwa bayam dan wortel tidak akan tumbuh dan berkembang biak di lemari yang dingin itu. Dia hanya tahu makan, dan tidak sadar dari mana makanan itu diperoleh.
Apa semua pria seperti itu?
"Ini Bee," alih-alih lembaran uang, Bima justru menyerahkan sebuah kartu. "151515. Itu sandinya. Ambil kalau kamu butuh sesuatu. Ambil kalau beras dan sayuran kita habis."
Arimbi melongo. Dia bertanya pada batinnya sendiri, siapa sih dia untuk Bima?
"Di masa lalu, aku bisa aja perampok loh, Bim. Aku akan ngeruk semua uangmu, lalu melarikan diri, kalau mau," tutur Arimbi untuk menakut-nakuti Bima.
Bima mengedikkan bahu. Membentuk sebuah senyum miring, "lakuin saja. Maka bersiap kupenjara seumur hidupmu."
Arimbi tertawa, tapi seluruh tubuhnya meremang. Ancaman itu tidak membuatnya takut, hanya sedikit bergetar pada hati saja. Selebihnya, Arimbi bisa mengimbangi setiap ucapan Bima yang entah kenapa selalu ambigu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...