02 | Bima dan Arimbi

20.2K 2.8K 342
                                    

Bima kembali...

⬛⬛⬛⬛

Gadis cantik yang disebut-sebut malang itu sedikit gugup saat sepasang mata penuh selidik memicing ke arahnya. Menelisik dari kuku kaki hingga ujung rambut. Senyum sang gadis terbit dengan sungkan. Entah ini pemalu atau takut. Mungkin dia hanya belum terbiasa saja. Yang pasti jantungnya berdentam-dentam tidak nyaman.

“Siapa dia, Bim?”

“Dia ...,” Bima menggantung kalimat. “Temanku, Ma.”


Gadis berambut panjang itu sudah ketar-ketir dengan jawaban yang akan pria tampan itu berikan. Pertanyaan siapa, rupanya tidak harus berkorelasi dengan nama. Status juga boleh. Dan memangnya sejak kapan mereka berteman? Dan sejak kapan pula, kegugupan gadis itu beranjak pergi.

Pria yang dipanggil Bim itu membuat si gadis hilang ingatan jadi nyaman dengan mudah. Entah mengapa. Mungkin karena Bim tidak bertanya tentang dirinya yang tetiba bergelagat aneh. Mungkin karena dia tidak seperti dokter dan suster yang hanya memberinya tatapan kasihan sepanjang hari. Pendar mata pria ini tidak sama seperti semua orang, ada yang berbeda dari dua mata hitam itu.

Entah apa namanya. Yang pasti ini jenis tatapan terbaik yang pernah ia dapat sejak bangun dengan kotak memori yang kosong. Si gadis hilang ingatan, menyukainya.

“Teman dari mana?”

Mama dari Bim masih belum tuntas penasaran. Pria bernama Bim membuang jarak dengan sang Mama. Berbisik dengan suara semut, supaya tidak didengar satu orang yang tersisa di ruangan ini.

Si gadis hilang ingatan mendesah hati-hati. Batinnya bertanya, apa yang tengah mereka bicarakan? Hal-hal buruk tentangnya, atau alih-alih menuduhnya sebagai yang tidak-tidak. Sejak kehilangan sebagian memorinya, dia jadi mudah tidak percaya diri.

“Oh, gitu.” Mama dari Bim memekik mengerti. “Sini, Cantik. Bima, angkatin kursi. Bantu dia duduk. Buruan.”

Namanya, Bima. Pria yang bertegur sapa dengannya beberapa menit lalu bernama Bima. Nama pertama yang akan terasa spesial saat menghuni kotak memorinya. Memang sudah ada nama dokter Vega dan beberapa suster yang mengunjunginya, tapi tetap saja ini terasa berbeda. Mungkin karena Bima adalah temannya.

“Makasih, Bima.” Ujar si gadis, saat Bima telah selesai mengangkatkan satu kursi untuknya.

Senyum pria itu tergaris tulus. Memang tidak lebar, tapi itu sudah cukup hebat mengundang senyum lain di bibir si gadis. Jangan lupakan juga jantung yang menggila tanpa sebab. Tak terasa, gadis malang itu sudah meremas tangannya yang dingin.

“Oke. Karena Mama sudah punya pizza. Mama juga sudah punya teman, jadi boleh Bima pergi sekarang?”

“Nanti balik lagi, kan?” sahut sang mama.

“Iya.” Tegas Bima. Mengecup dahi mama cantiknya sekilas. Terakhir, Bima memberi gadis itu sepasang mata. juga, selengkung senyum. “Kamu... makan yang banyak. jangan sungkan sama Mamaku, oke?”

Begitu saja benak si gadis menghangat. Ada sulur-sulur bahagia yang tumbuh makin memanjang di dalam sana. Pria penuh perhatian itu sudah berlalu, namun bau dari parfum bercampur keringatnya masih memikat di inderawi si gadis. Sampai dengan pintu tertutup, pandangan si gadis belum juga puas.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang