Sangat mudah untuk melepaskan diri, dari kewajiban-kewajiban yang datang menghimpit. Arimbi hanya perlu mengunci bibirnya rapat, dan ia tentu tahu, Orlan tak akan mungkin mendesaknya demi sebuah jawaban. Arimbi hanya harus diam, tidak menyalahkan dan tidak membenarkan, dan mempersilakan Orlan menduga-duga sesukanya.
Arimbi bukan bermaksud ingin mengingkari perasaannya pada Bima, hanya saja ia tak punya keberanian untuk membuat pengakuan di hadapan pria yang ia panggil dengan kekasih. Arimbi mungkin sudah berubah jadi penipu yang hebat, tapi demi apapun, dia hanya ingin menjaga hati pria baik hati ini.
Hingga jawaban Orlan meluncur setelah kediaman Arimbi yang terhitung lama, "Tapi ya udahlah. Urusan dia kalau mau suka kamu. Nyatanya, kamu punya aku sekarang, kan?"
Entah Orlan benar-benar tak bisa membacanya, atau Orlan hanya sedang membiarkan Arimbi bermain peran. Yang jelas, ucapan Orlan sudah berbentuk sebuah tinjuan mampir di jantung Arimbi. Rasanya sakit, tapi ia harus tetap tersenyum untuk menyamarkan butir-butir kebohongannya. Rasanya perih, tapi Arimbi tak bisa melepaskannya begitu saja.
Sepanjang hari Arimbi banyak melamun. Pandangannya terpancang jauh, kosong seperti tanpa semangat. Ia mulai lelah dengan dua pilihan yang tersaji di depannya. Perasaan terombang-ambing itu membuat dua lututnya terus melemas, membuat darahnya seperti tak lagi merah. Arimpi pikir, supaya ia bisa melanjutkan hidup dengan ringan, ia harus melepaskan salah satu dan tetap menggenggam yang lainnya.
Memilih sudah jelas perkara yang sulit. Jika berkaitan dengan jantung, Arimbi tahu ia berdebar untuk keduanya. Siapa yang paling membuat ia berdebar, itu yang masih belum bisa Arimbi ukur dengan pasti. Jika berbicara hati, ia yakin ia memiliki hati untuk Orlan maupun Bima. Hati semacam apa, Arimbi juga belum bisa membedakan. Jika itu tentang rasa, Arimbi lebih tidak mengerti. Seperti kata Ayah, di masa lalupun ia bodoh menerjemahkan perasaannya sendiri. Ia sebut dirinya mencintai Andra, padahal kata Ayah ia hanya merasa nyaman dengan teman karibnya itu. Di lain waktu, Ayah juga berpikir bahwa ia tak pernah mencintai Orlan. Kata pria tua itu, Arimbi masih hanya sekadar nyaman.
Jadi, apa dengan Bima kali ini juga tidak lebih dari rasa nyaman? Atau ini semata sebakul rasa terima kasih, atas ribuan pertolongan yang pria itu curahkan.
Entahlah. Arimbi hanya tahu ia nyaman. Ia hanya tahu ia bahagia. Ia hanya tahu, ia tak pernah berpaling pada arah manapun saat ada Bima di dekatnya.
Berhari-hari berlumur gamang, akhirnya Arimbi menumbalkan hati dan hidupnya demi sebuah keputusan. Ia seperti harus memenangkan Orlan, meski harus meletakkan Bima.
Arimbi benar-benar meminta maaf untuk Bima. Dia tidak sanggup menyakiti perjuangan Orlan, meski Arimbi tahu Bima juga tak kalah memperjuangkannya. Dia tak sanggup meninggalkan pria itu, meski ini sama beratnya untuk meninggalkan Bima. Orlan, dia seolah telah mengambil kursi terlebih dahulu. Mengusirnya dari kursi ia duduki, rasanya terlalu kejam. Dan mungkin, memang Bima harus mencari kursi yang lain.
Arimbi tidak adil pada Bima? Tentu saja. Arimbi tertawa sumbang dalam hati. Apapun ketegasan yang ia pilih memang tak akan pernah adil untuk siapapun.
'Aku dengar kamu sudah pulang. Seneng dengernya, Dai.'
Sebuah pesan membuyarkan rasa bersalah yang menggerogoti jiwa. Sang pengirim menggunakan nomor yang tidak terdaftar dalam kontaknya. Jadilah Arimbi membuka foto yang terpajang bersisian dengan nomor tersebut. Pria. Arimbi mengernyit. Merasa familiar dengan--
Ah, itu pria yang pernah hadir sebagai bayangan gelapnya. Ingat kejadian dalam bioskop?
Inikah, Andra? Bisa ja--
"Dai?"
Dan mungkinkah gadis dalam bayangan itu bukan dirinya, melainkan gadis serupa dengannya ini? Bisa saja. Andra mencintai Lily, dan tak pernah mencintainya. Lebih besar kemungkinan Andra mencium Lily dibanding menciumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
Fiksi UmumBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...