08 | Gadis Penuh Kejutan

13.5K 2.2K 429
                                    

"Mentang-mentang Arimbi cantik, terus matamu jadi katarak?"

Bungkam jadi reaksi yang Bima tunjukkan.

"Jangan hanya karena dia bening, terus otakmu juga nggak kepake ya, Bim?"

Bima mengunci bibir untuk cibiran sinis yang sahabatnya lontar. Setelah menghabiskan beberapa hari untuk menggalaukan Arimbi, sekarang Bima harus kembali fokus pada proyek yang menunggu sentuhan tangannya. Gadis itu tak akan kemana-mana. Bima berani bertaruh. Rumah ini, perhatian yang Bima berikan cuma-cuma, dan segala bentuk bantuannya telah menciptakan jeruji tak kasat mata yang akan selalu memenjara tubuh kecil Arimbi. Gadis itu tak bisa kemanapun. Selamanya, akan bertahan di pelupuk mata Bima.

Sekarang, mumpung Arimbi sedang berbelanja bersama Nisa, biarkan Bima fokus bekerja. Gambarnya untuk klien belum rampung, lebih-lebih soal budget yang juga harus dilampirkan. Sejenak, biarkan Bima lepas dari jerat-jerat lembut Arimbi. Sejenak, biarkan Bima kembali jadi Bima yang waras.

Karena Bima benar-benar sudah gila sejak memutuskan untuk membawa Arimbi berkelana lebih dalam di hatinya. Ia bertaruh banyak, untuk judi kali ini. Untuk itu, sebentar saja, biarkan pekerjaan mengembalikan akal sehat Bima yang menguap entah ke mana.

"Arimbi emang bening, asli cantik kayak miss-miss di TV. Tapi dia amnesia, Bim. Kamu bener-bener udah sinting ya dengan main hati sama dia?"

"Lusa, aku mau ketemu sama Pak Widodo. Rampungin maketmu secepatnya."

"Halah, nggak usah kayak cewek yang sukanya ngalihin topik," sengit Randi, yang terlihat hendak membanting penggaris di dalam genggamannya. "Mikir, Bima. Pakai akal sehatmu. Jangan menye-menye, hanya karena urusan hati. Kamu tahu banget, kemungkinan terburuk apa yang akan kamu dapat kalau masih ngeyel deketin Arimbi."

Bosan sekali mendengar ceramah ini. Bosan, hingga tak sadar Bima sudah menguap lebar. Keputusannya untuk memperjuangkan Arimbi sudah bulat. Keinginannya untuk mencoba keburuntungan atas gadis itu sudah tak bisa diganggu gugat. Papa saja, berani Bima bohongi. Lalu siapa Randi, hingga harus ia acuhkan sedemikian banyak?

Soal kemungkinan terburuk yang coba Randi gambarkan bak momok menyeramkan, Bima juga sangat paham. Peluang kenekatan ini berbuah manis berbanding sama dengan peluang ia akan patah hati. Tidak usah lagi diingatkan soal status Arimbi yang kemungkinan sudah dimiliki seseorang, Bima sudah mewaspadai ini hingga tidak mungkin lalai.

Itu alasan mengapa Bima membawa gadis itu pulang. Supaya Bima bisa merebut detak jantung Arimbi. Supaya Bima bisa sedikit tinggal di relung gadis itu. Supaya Bima, bisa jadi bagian yang akan gadis itu pertimbangkan jika memang ada pria lain yang harus disejajarkan dengan Bima. Supaya, perasaan Bima tidak berakhir sia-sia.

"Budek, Bim?"

Menahan terlalu banyak, Bima menghela napas. Mengenyahkan kertas dan pensil yang memenuhi jemarinya. "Aku bukan ABG yang cinta-cintaan tanpa otak, Ran. Cukup doakan yang terbaik buat aku. Cukup terima dan perlakukan Arimbi dengan baik. Selebihnya, biar takdir yang mengatur."

Randi ikut frustrasi sendiri, padahal Bima tidak meminta pria itu berpikir sekeras ini. "Terserah, Bim. Terserah," desah Randi kasar. "Jangan sampai kamu minum baygon, kalau ternyata Arimbi udah jadi bininya orang."

Bima mendecih, "tenang aja. Aku masih menyisakan sedikit otakku."

"Cowok yang lagi kasmaran, masih menyisakan sedikit otaknya ya. Hebat," Randi mengejek. "Atau jangan berpikir untuk berubah jadi pebinor, kalau ternyata Arimbi udah punya suami ya?" peringatnya dengan mengacungkan jari telunjuk.

"Peb—peb apa?"

"Pebinor. Perebut bini orang."

Tak pelak, Bima mengumpat pendek-pendek. Lantas beradu tawa nyaring dengan Randi. Soal istilah aneh yang baru saja berkenalan dengan gendang telinganya, Bima tidak bisa menimpali. Tapi percayalah, sama sekali Bima tak berkeinginan untuk jadi perebut atau perusak hubungan orang lain.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang