01.00 WITA (Jangan ada yang ngadu ke mamaku, ya) 😆😆
Jadi sebelum ada yang salah paham denganku, aku pengen ngobrol sedikit nih. Hehe. Yang kenal aku sejaaak lama sekali, pasti ngeh ya selera happy endingku macem apa. Sebut aku membosankan, tapi aku selalu satuin karakter utama dengan karakter utama. Entah karakter utama cowokku disuka atau tidak sama pembaca, aku tetap akan cari pembenaran untuk nyatuin si main cewek dan main cowoknya. Contoh, Rajendra sama Elvira. Banyak banget loh yang benci Rajendra saat itu. Tapi ya apa mau dikata. Aku sudah nakdirin Elvira buat Rajendra, jadi maaf aku mengecewakan beberapa dari kalian. 😀😀
Nah, untuk si Bima dan arimbi aka Daisy ini. Aku sedikit keliru nyiptain karakter orlan. Dia jadi strong gilakk, sampe aku galau sendiri jadinya. Tapi ya balik lagi sama selera happy endingku yang membosankan itu. Orlan dengan segala kebaikannya, hanya akan jadi pembanding. Maafkan, bukan pemenang.
So, jangan ngira aku nurut sama kalian ya, hingga lupa bahwa akulah 'Tuhan' untuk cerita ini. Ndg lah, ndg seratus persen begitu. Aku bikin alur sesuai dengan yang kubayangkan di awal. Aku jalan sesuai ending yang sudah kutetapkan sebelumnya.
Oh, aku suka sama 'keramaian' kalian di part sebelumnya. Terima kasih untuk apresiasi kalian. Dan maaf, jika ada yang belum terbalas. 😘😘
Dan mari nemenin Arimbi bangkit.
****
Sebelumnya ia pikir dengan mengingat semua hal yang terlupakan, hidup Arimbi akan jauh lebih mudah. Akan semakin terarah dan tetap teratur seperti sedia kala. Ia pikir akan semakin sempurna karena detik itu, Arimbi merasa hidup jadi pribadi yang mau belajar. Yang sudah menyesali semua kekeliruannya. Yang sudah menyadari hal-hal berharga, yang sempat tak ia sadari eksistensinya.
Tapi ternyata dugaan Arimbi salah. Setelah semua kotak memorinya terbuka, nyatanya Arimbi hanya didera sakit dan sakit. Luka-luka belum kering yang bertumpuk datang menghimpit hatinya. Pengalaman-pengalaman buruk mengurung Arimbi pada satu situasi yang tidak mudah. Entah harus bagaimana lagi Arimbi membangun hidupnya yang tak lebih dari serakan puing-puing.
"Dai?"
Arimbi menoleh, "Ya?"
"Kamu oke?"
"Nggak sih. Cuma nggak usah khawatir gitu," Arimbi tertawa. Meski mungkin itu tak lebih dari sebuah kamuflase. "Aku cuma butuh waktu untuk ngelepasin semua kok. Semua akan kembali pada porosnya, nanti."
Lily menghela napas. "Maaf, semua sakitmu berasal dari aku. Kamu kayak gini karena aku."
"Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu, Ly. Aku udah usaha sangat kuat untuk berdamai dengan kamu, Ayah, dan Bunda. Jadi cukup dukung aku. Cukup perlakukan aku jadi gadis yang kuat seperti sebelumnya. Berhenti nyalahin diri sendiri ya. Aku sayang kamu. Selalu bersyukur punya kamu. Oke?"
Gadis yang sedang Arimbi pandang mengangguk dalam lelehan air mata. Dia mungkin memang tercipta dengan sisi lembut yang mendominasi. Hingga hal-hal sedikit sentimentil pun berhasil mengundang rasa haru mendalam untuknya. Arimbi terkekeh saja, ia ulurkan selembar tisue dari sekotak tisue yang terus tergeletak di ranjang Arimbi. Benda persegi itu jadi yang paling banyak mendesaki keranjang sampah di sudut kamar. Selembar lembut itu dijadikan senjata untuk menghapus lelehan sakit yang tersalurkan melalui dua buah bola mata. Arimbi menangis, banyak menangis akhir-akhir ini.
"Ly?"
"Ya?"
"Mas Orlan masih sering ke sini?"
Ini hari ke tujuh, dan ini adalah kali pertama Arimbi memiliki keberanian untuk melapalkan nama Orlan dengan lidahnya. Berhari-hari ia biarkan ponselnya mati. Ia tak pernah melangkahkan kaki melewati pintu utama. Tidak juga bersedia menerima kedatangan Orlan yang terus berusaha untuk menemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...