03 | Mengelak Rasa

17.6K 2.6K 236
                                    


Seminggu banget ya saya baliknya 😁. Maafkeun.

El dan Jendra udah jadi btw. 😁😁 Menyusul, setelah saya selesai balasin komen kalian di part terakhir ya. Komenin Bima dan Arimbi yang semangat dulu ya gengs.

⬛⬛⬛⬛

"Bubur ayamnya Mang Jaja, enak kayaknya, Bim."

Itu bukan kode. Ini cara halus seorang Mama Lani meminta jatah sarapan berupa bubur ayam langganan keluarga mereka. Yang diteriaki untuk segera bergerak sudah pasti adalah Bima. Mama menyebut angka empat porsi untuk melengkapi perintahnya yang tak bisa ditolak. Sambil mengerutkan kening, Bima tetap pergi. Titah ratu, kalau tidak dijalankan raja pun akan ikut melotot.

Sambil menahan dumelan dalam hati, Bima menggerakkan sedan hitamnya. Langganan Mama itu jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit. Lebih-lebih ini adalah jam masuk kantor. Kebayang bukan, bagaimana dongkolnya Bima sepagi ini?

"Ya?" sahut Bima sementara ponsel menempel di telinganya.

"Nggak ke studio lagi, Bro?" sapa Randi di ujung sana.

Dia adalah satu dari dua teman seprofesi yang setuju dengan merintis studio kecil-kecilan. Gaji dari firma mereka yang seabrek, nyatanya tak lagi penting saat lingkungan kerja tak mampu membuat mereka nyaman. Satu lainnya bernama Nisa. Gadis itu paling handal saat menggambar. Akurasi dan skalanya, sering kali membuat Bima berdecak iri.

Tapi siapapun tahu bahwa gambar saja barangkali hanya bisa menghidupkan rasa tertarik. Untuk membuat klien berada pada tahap percaya, akan sangat sulit jika hanya bertumpu pada gambar. Jadilah biasanya perlu pendukung berupa bentuk tiga dimensi. Dan itu akan jadi kehandalan seorang Randi untuk menghasilkan sebuah maket. Ketelitian Randi saat mengaktualisasikan gambar dari seorang drafter jadi benda-benda bervolume tidak perlu diragukan.

Bertiga pun rasanya sudah cukup solid. Bima sang perancang konsep, Nisa si penggambar, dan Randi yang jadi penjelas sebuah bentuk sudah cukup untuk menggerakkan sebuah usaha. Meski dalam praktiknya, Bima masih perlu bekerja sama dengan beberapa orang ahli sipil.

"Oi, bro?"

"Siangan, lah. Tahu sendiri gimana Mamaku."

"Ck. Kawin aja susah banget sih, Bro. Tinggal iyain aja. Pasti Mamamu milihan yang cantik kok."

Bima memutar mata, "Iya. Aminkan saja." Sahutnya lalu mengulum senyum. Ia teringat pada seseorang.

"Amin? Emangnya udah ada?"

"Udah. Aminin aja."

"Amiiiinnnnn." Seru Randi dongkol. Bima tetap berharap amin ini terdengar oleh Tuhan. "Aku nelepon cuma mau ngabarin, kalau nanti siang ada orang yang tertarik pakai jasa kita. Jadi buruan balik, bersih-bersih rumah. berantakan gilak ini."

Kabar ini membuat Bima senang sekaligus sebal. Senang, karena ia berpeluang mendapatkan klien ke sekiannya. Dan sebal karena kembali ia harus jadi pembantu di rumahnya sendiri. jelas-jelas Randi yang membuat kekacauan, tapi tetap saja Bima yang harus bertanggung jawab. Dipikir hanya membuat maket yang sulit. Dipikir membuat konsep hingga memastikan budget itu gampang.

"Sebelum jam 12, aku ke sana."

"Oke. Bawa makanan ya? Masa dari semalam makan mie instan terus."

"Hm." gumam Bima lalu mematikan sambungan.

Pria itu menarik napas. Berusaha mengusir lelah yang menumpuk, lalu mengundang tenang yang sesekali menghilang. Hanya saja tarikan napas tidak bisa menghapus sayup-sayup suara Mama semalam. Dewi Arimbi, istri Bima. Itu sangat menganggu. Membuat batin kecilnya, meronta-ronta dengan kurang ajar.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang