Untuk mengetahui asal muasal 'bau amis' itu sengaja ku bikininin klimaknya dari sisi Bima ya. Biar ndg timpang. Biar kalian tahu, Bima juga ndg kalah berjuang nungguin Arimbi move on.Perhatian, setiap part itu berbeda setting ya. Waktunya berurutan. Dimulainya sejak Arimbi pergi, tentu saja. Jadi ini tuh kayak kilas balik aja.
Dah itu aja, semoga ndg bingung.
Lalu, Ini ending atau Ini belum ending?
Cari tahu sendiri deh jawabannya. 😁😁
***
"Katanya, kalau obat sakit hati itu adalah nyari hati yang baru. Menurutmu bagaimana?"
Bima mendesah malas seirama dengan putaran bola mata bulatnya. Niatnya pulang ke rumah ini untuk mencari suasana sedikit ramai, tampaknya tak sesuai dengan yang ia dapatkan. Sepi dan hampa yang sekuat tenaga ia tepis, malah dibahas berkali-kali di sini.
"Nggak usah mulai lagi, Ma." Papa menanggapi. Sedang mengingatkan pada aksi yang menurut papa adalah cikal bakal masalah ini, lebih tepatnya.
"Nggak ada salahnya kok nyoba. Mau Mama kenalin sama yang lain?"
"Nggak inget kelakuanmu kemarin? Masih belum inget sama dampak dari sok tahu yang kamu sebut naluri itu?"
"Mama nggak ngomong sama Papa, tahu!"
"Asal tahu saja, Papa sedang megangin tanganmu supaya tidak tersandung di lubang yang sama. Kalau kamu masih kayak gini terus, terserah Ma, terserah."
Helaan napas panjang terumbar untuk perdebatan orang tuanya. Jika ada yang berubah karena kepergian seoarang gadis, mungkin hanya ada Bima dan cara hidupnya.
Mama, meski dulu tampak sekali menyayangi Arimbi nyatanya seolah tak terpengaruh. Ia tetap bertahan dengan kepribadiannya yang tak pantang menyerah, meski kadang sama sekali tak selektif. Dia yang dulu begitu yakin Arimbi adalah sebagian jiwanya yang terpisah raga, sekarang tak begitu menggubris bekas luka atas hengkangnya gadis itu di dalam benak Bima. Mama yang dulu giat sekali mendorongnya untuk membawa Arimbi pulang, sekarang lagi-lagi mencoba mengulang cara yang sama—menjodohkan, yang menurut Papa adalah lubang berlumpur yang menjerat Bima kali ini.
Sedang Papa juga masih bertahan dengan sikap tak acuh, tapi penuh dengan pertimbangannya. Di awal, dia sama sekali tak menyetujui keputusannya yang patuh pada bujuk rayu Mama. Hingga akhir, pria itu masih tak menyayangkan kepergian Arimbi. Dengan bijak Papa hanya berkata, mungkin Arimbi bukan jodohmu.
Sungguh. Hanya Bima dan hidupnya yang berubah. Dulu ia terbiasa dengan rumah yang lengang dan dingin kala malam. Sekarang ia memilih memutar musik saat petang datang. Dulu ia terbiasa sarapan dengan selembar roti dan segelas kopi, sekarang ia memilih makan bersama puluhan penikmat bubur ayam di warung-warung tenda. Seolah hanya Bima dan hidupnya, yang sempat bersinggungan dengan Arimbi. Seolah hanya Bima dan hidupnya, yang terasa berlubang sebab ditinggalkan gadis itu tanpa kabar.
"Aku pulang deh, Pa, Ma."
Mama tersentak, "Loh, kenapa? Katanya mau nginep di sini?"
Bima hanya memberikan gelengan dengan segaris senyum tipis. Rumah ini mungkin memang ramai, tapi sungguh tak membuat hati yang sedang terserang badai itu beranjak damai. Ia tetap merindukan gadis itu. Ia selalu merindukan gadis itu, hingga rasanya memilih mati berteman sepi dibanding hidup dalam gempita tanpa ada suara gadis itu di dalamnya.
Hari masih cukup sore, saat Bima kembali ke rumahnya yang sederhana. Tak lagi ada mobil Randi, sekarang alih-alih telah terparkir satu mobil yang tampak asing untuk Bima. Sontak mengerutkan kening, Bima mendapati sesosok pria paruh baya yang sedang mondar-mandir di tamannya. Entah siapa itu, yang jelas dia sedang seksama memperhatikan bunga-bunga yang dulu dirawat dengan pupuk hati dan perhatian oleh Arimbi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...