Buat yang baru ketemu sama saya, dan belum sempet jelajah ceritaku yang lain, si Daisy ini mungkin jadi karakter asing yes.
Padahal sebenarnya, daisy ini karakter lama. Jadi si Daisy ini anak salah satu karakterku, Nara dan Nadia, di 'Penantian Berharga'. Daisy belum punya alur di sana, selain sebagai pemanis ekstra part saja.
Maka tenang, kamu nggak harus jelajah cerita emak bapaknya Daisy, buat tahu cerita ini secara utuh. Cukup main di sini saja. Karena Semua teka-teki, tercipta dan akan terbuka di lapak ini, kok.
Dan, tandai jika ada typo dan kalimat yang rancu ya. Makasih semua... 😘😘
⬛⬛⬛⬛
Bima tahu, hari terburuk ini akan datang juga. Entah, Arimbi yang akan mengingat terlebih dahulu, lantas berlari meninggalkannya. Atau seseorang yang berhasil menemukan Arimbi, lalu sekarang berusaha menjemputnya pulang. Bima tahu, hari buruk ini pasti datang. Tapi sungguh, ia tak pernah mengira bahwa akan secepat ini.
Bahkan Bima dan Arimbi belum puas menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Belum cukup membagikan bahagia untuk satu sama lain. Belum terlalu banyak menggunakan waktu untuk saling mengungkapkan cinta yang mendesaki benak. Lantas, mengapa badai secepat ini menerpa? Mengapa secepat ini waktu mereka diputus habis?
"Sepertinya anda salah alamat. Karena tidak ada Daisy di sini."
Bima hanya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mencoba menyangkal, untuk ketakutan yang telah meyusup pada laju aliran darahnya. Mencoba berharap, bahwa pria ini bukan siapapun. Bukan apapun yang akan merampas miliknya yang tergenggam.
"Beruntungnya, saya yakin sekali bahwa ini alamat yang sesuai dengan alamat yang rumah sakit berikan. Anda meninggalkan alamat anda di sana, lupa?" jawab pria itu dengan tenang. Sangat tenang.
Sekarang Bima baru sadar, bahwa ia pernah naif sekali saat bertingkah layaknya pahlawan kesiangan. Sore itu, harusnya ia culik saja Arimbi dari rumah sakit. Tak usah meninggalkan jejak. Tak usah meninggalkan alamat, supaya tak ada seorang pun yang berhasil mengendus keberadaan Arimbi.
Jelas, Bima ingin menendang otaknya yang tolol ini.
"Bisa saja, itu rumah sakit yang berbeda," masih saja Bima mencoba mengelak.
Menyebalkannya, pria di hadapan Bima tersenyum miring. "Medika Utama, benar?"
Sial. Jemari Bima sudah membentuk sebuah bulatan kuat, sementara jantungnya tak henti berdetak cepat. Firasatnya makin tak enak. Inginnya, pria ini segera pergi dengan tangan kosong. Segera berlalu, karena Bima rasanya tak lagi kuat menahan gejolak amarah dalam benak. Entah marah pada siapa.
"Tidak ada Daisy di sini. Perm—"
"Tunggu," pria itu menahan dingin. Merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya untuk mendapatkan sebuah ponsel. Dia sibuk sejenak, lantas mengacungkan ponselnya. Bima terbelalak saat menangkap potret itu dengan pupilnya. "Dia Daisy. Tunangan saya yang kamu ajak tinggal di rumah ini."
Kiamat rupanya datang lebih cepat. Gambar gadis yang tersaji di depan mata itu, entah bagaimana memang seperti Arimbi. Mata coklat cerahnya. Hidung bangir, tak seberapa lancip. Dan tentu saja, senyum lebar yang berhasil menenggelamkan Bima dalam lautan rasa.
Itu benar-benar Arimbi. Atau ... itu benar-benar Daisy.
Daisy?
Sungguh Daisy? Gumam Bima begitu terkejut.
"Ini kembarannya. Lily," jelas pria itu seolah ingin menegaskan bahwa ia bukan salah orang. Menegaskan bahwa ia telah mengetahui segala hal soal Daisy. "Dan ini orang tuanya. Om Nara dan Tante Nadia. Dia benar-benar Daisy, saya yakin dari sorot terkejut yang anda tampilkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...