intro

8.7K 728 28
                                    

MULANYA permen karet yang sedari tadi tak bosan kukunyah, sedikit terasa hambar. Namun kembali memiliki rasanya, tatkala irisku menangkap presensi pria jangkung yang begitu terburu kala menuruni kendaraan berjenis lamborghini veneno berdesain sporty—bersama nafas memburu; juga lari kecil kearahku. Serta merta kusambut dengan dua telapak tanganku yang lekas menyatu guna membentuk sebuah tepuk riuh, seraya memasang ekspresi sinting; sanking bahagianya.

Lagi-lagi tebakanku tak meleset. Pria itu sungguh datang, tanpa keterlambatan barang sepersekonpun. Membuatku menerka perihal berapa kecepatan yang ia tempuh, hingga berhasil menghantarkan wajahnya dihadapanku dalam kisar waktu sepuluh menit.

Sejemang menikmati wajah lelahnya, lantas kuciptakan dehem singkat yang sembari menyibak surai kebelakang seolah menampilkan sikap angkuh—serta merta melipat tangan, untuk menatapnya yang masih terengah.

"Aku akan mengantarmu pulang." ajak pemuda yang lekas menarik lenganku, dengan tak sabaran. Sontak menciptakan decih tak terima, hingga sorot nyalangku terhadapnya telah dibingkai dengan satu alis menukik.

Tentu saja tak semudah itu untuk membuatku menurut pada pria yang terlihat menurunkan bahu putus asa. Terlebih tatkala ia dapati cengkramannya terhempas mudah oleh satu pergerakan kuat yang ku ciptakan. Menyisakan netranya yang langsung mendelik, namun tak sinkron dengan seulas senyum paksa yang lekas ditarik oleh dua sudut bibir ranumnya seraya menitah, "Kita pulang, ya? Ibumu pasti cemas, jika aku tak bisa membawamu kembali." lirihnya, sedikit memelas.

Jelas saja penolakan secara telak, kuluncurkan denga mudah; melalui gelengan kepala. Lantas merotasikan iris sekilas, sebelum berakhir mengambil satu langkah maju untuk lebih mendekat kearah pria yang kuminta, "Aku akan pulang, asalkan kita mampir terlebih dulu ke bar. Ikutlah denganku, oppa. Ayo bersenang-senang."

Sang lawan bicaraku terlihat menghela; sebagai jawaban. Ia yang selanjutnya terlihat mengacak surai dengan begitu frustasi. Menyisakan batinku yang kembali berteriak bahagia, sebab airmuka putus asanya—adalah kebahagiaanku.

"Baiklah. Tapi berjanjilah, kau takkan membuat onar." putusnya, kalah. Sontak meledakkan gelak tawaku; tatkala menyadari jika anggukan semangat yang ku ciptakan sebagai persetujuaan, begitu berbanding terbalik akan airmuka Kim Seokjin Oppa yang terlihat frustasi, lelah, muak, namun masih berusaha bersikap hangat dengan ulasan senyum paling menawan.

Lalu, mankala sudut mataku meliriknya sekilas sembari mengguncang pelan lengan pria yang bersiap untuk memegang setir bundar di hadapannya, kembali aku meringik bak seorang anak kecil, "Oppa, bantu aku pasangkan sabuk pengaman ini. Aku kesulitan."

Mendapati rengekan yang kerapkali didengarkan, Seokjin oppa pun berdecak, sekilas. Lantas kembali menurut untuk mengatur terpasangnya sabuk pengaman pada tubuhku. Menyisakanku yang terkekeh menang, sebab berulang kali berhasil mengerjai calon kakak iparku yang tampan ini. Bahkan sekarang ini, isi kepalaku telah memiliki ide konyol yang terlintas begitu saja—tatkala kuamati dengan saksama wajah tampan yang tengah terfokus untuk menimbulkan bunyi klik dari seal bealt-ku.

Bagaimana rasanya disentuh oleh dua tangan yang memiliki vein menggoda itu? aku juga penasaaran, perihal bibir ranumnya yang akan menyesap bibirku dengan rakus. Pun aku menginginkan tubuh kekarnya untuk menghantarkan suhu hangat, melalui dekapan; tanpa sebuah penghalang. Kim Seokjin, adalah tipikal pria yang cukup menggoda—untukku.

Oh tunggu dulu. Namun, aku belum berniat menjadi penghianat yang akan merebut kekasih saudaraku sendiri. Hanya saja, mungkin tidak akan masalah jika sedikit membuat Seokjin oppa mabuk—agar aku bisa mendapatkan semua hal erotis, yang baru saja menari dalam benak.

Bagaimana menurutmu? []



***

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang