lembar delapanbelas

2.5K 423 52
                                    

BERJANJI akan menyajikan hidangan masakan, tak pelak membawa diriku untuk mengekori pemuda yang sempat menarik atensiku; tatkala ia memasang sebuah kacamata bening diatas pangkal jembatan hidungnya yang tinggi.

Pun aku yang beberapa kali tertangkap basah tengah mencuri tatap padanya, seolah menandakan betapa sosok pria dewasa disampingku; amatlah sangat kurindukan.

Berbeda denganku, Seokjin oppa nampaknya tak merasakan hal yang sama. Sebab ia, malah lebih memilih untuk menggoda bayi mungilnya, dibandingku; yang seharusnya ia rindukan.

Tentang Seokjin oppa, yang menggelitik serta memberikan ciuman gemas pada Daeho. Lantas mengabaikanku yang jelas-jelas tengah memangku tubuh gempal itu, hingga kembali ia berikan fokus secara penuh; pada jalanan didepan sana.

Ia nampak mengulas senyum singkat. "Cuacanya, bagus." katanya, basa-basi.

Situasi canggung ditengah keheningan, tak lantas membawaku larut dalam diam. Serta merta menatap kearah Seokjin oppa dengan manik memicing, sesaat sebelum satu pukulan telah mendarat cukup keras diatas permukaaan kepala belakang ia; yang nyaris terbentur kemudi. "Oppa tahu tidak, aku itu merindukanmu sampai nyaris gila." mengaku dengan setengah berteriak, sang tersangkapun hanya melirikku sekilas. Lalu kembali menatap lurus, hingga aku berteriak, "Saat pernikahan, katanya kau akan menganggapku sebagai adikmu yang manis? tapi, apa? kau malah menghilang, begitu saja."

"Kau merindukanku, karena tidak ada lagi yang memberimu makanan enak 'kan?" tanggapnya, konyol.

Lalu kujawab, "Ya,"

Ia pun terkekeh, sembari mengangguk.

Sepersekon kemudian, ia pun kembali bertanya, "Kau merindukanku, karena setelah aku tak ada, kau tak memiliki supir pribadi 'kan?"

Langsung saja, kutanggapi, "Ya."

Lagi-lagi, Seokjin oppa tertawa ringan. Kemudian menganggukkan kepalanya, sebelum untuk ketiga kalinya ia melontarkan pertanyaan, "Dan kau juga merindukan sentuhan dari pria tampan sepertiku 'kan?"

"Ya," singkatku, tanpa sadar. Sontak membekap mulut, lalu buru-buru meralat, "Tidak, lah."

"Jawaban pertama itu, jujur." tepis pemuda yang mulai mengacak puncak kepalaku, gemas.

Menangkap bagaimana Seokjin oppa yang bersiul sembari memandangi bentang langit, akupun berasumsi jika suasana hatinya terasa begitu cerah.

Serta merta membawa sudut manikku bergerak untuk menilai pemuda yang warna cokelat terang pada surainya nampak begitu cocok, juga kilau lembut pada bibir merekah yang lantas membuat kesadaranku berkumpul pada ingatan beberapa menit lalu.

"Ya tuhan." gumamku, membekap mulut. "Apa tadi aku benar-benar mencium bibirnya? apa ini bukan mimpi? sialan."

Diam-diam bermonolog, rupanya hal tersebut didengar oleh pemuda yang menatapku sekilas, sembari memelankan laju kendaraannya.

Memasuki area parkir sebuah hotel berbintang yang gedungnya nampak menjulang tinggi. "Kenapa kita kemari?" bertanya setengah panik, Seokjin oppa pun kembali mengulas senyum tipis. Lalu meletakkan jari telunjuknya diatas bibir, yang lantas membuatku berkata, "Oppa, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padaku."

Sontak tawa Seokjin oppa, pecah disaat itu juga. "Katanya, kau ingin melihat Jian? makanya aku membawamu kemari." jelasnya, lalu mengikis jarak; sembari mengunci tatapanku.

Nyaris membuatku terkena serangan jantung melalui jarak kelewat dekat yang diciptakan, rupanya hal yang sempat kufikirkan tak terwujud, sebab Seokjin oppa, hanya berniat untuk memberi ciuman pada Daeho; yang memang berada diatas pangkuanku. "Ayo kita bertemu mama, sayang." lalu merampas tubuh padat bocah yang sedetik selanjutnya; langsung menangis enggan.

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang