Andaikata pria jangkung yang baru saja meluncurkan kalimat asalnya, tak memberikan penekanan pada kata 'adik ipar', mungkin di detik ini; libidoku telah menelan seluruh nalar, tanpa menyisakan sedikitpun kewarasan. Hingga mendorong sikap liarku, untuk segera memagut bibir ranum seorang Kim Seokjin tanpa segan; meski dua tungkaiku harus bersusah payah untuk menopang bobot tubuh seraya mendongakan wajah, sebab tinggi Seokjin Oppa sungguh jauh berbeda dariku.
Kedua lengan yang ku lipat tepat dibawah dada, seakan menyirat tentang isi kepala yang kini tengah ku paksa untuk bekerja cukup keras dalam menelaah kalimat pria yang hanya mengulum bibir bawah, seraya memberikan tatapannya padaku. Oh—mungkin saja otak genius iparku sedang dalam keadaan yang tak baik, hingga tawanya menguar secara terus menerus; tanpa sebuah alasan yang pasti. Selepas berpuas diri untuk menikmati airmuka-ku, satu lengan pria itu terbentang; untuk ia lingkarkan pada bahuku, yang sempat ia usap singkat.
"Aku serius, adik ipar! Kau sungguh tak tekendali, ketika tengah mabuk. Semalam itu, kau menyerangku! Dan—kurasa, iparku ini tipikal gadis yang—cukup hebat, saat diranjang."
Sinting! irisku langsung saja melebar, dibuatnya. Pun bukan disebabkan perkataan asal yang ku yakini hanya sebuah bualan, melainkan presensi dua staff kantor yang hendak menunduk sopan pada sang atasan; dan malah mendapati pembicaraan cabul dari boss yang hanya melempar tawa pada keduanya.
Sorot nyalang di tengah giringan langkah pria yang kini membukakan daun pintu mobil, serta merta membuat bahunya menghendik acuh. Lantas merotasikan punggung, untuk segera mensejajariku pada kursi kemudi; sebelum deheman singkat—telah menjadi pengawal pembicaraan serius darinya.
"Masih ingat; tentang kau yang semalam hilang kesadaran—dalam mobilku? Itu, sedikit membuatku cemas; jika harus mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk—takut takut kau akan di marahi oleh Eommoni. Sayangnya, membawamu pulang ke flat-ku, juga bukan pilihan yang tepat." gumam Seokjin oppa, tak pelak membuat romaku meremang seketika. Tepat di detik pertama, tatkala tubuhnya mulai condong; guna mengaitkan seat belt untukku.
Salivaku terteguk paksa, mendapati posisi pria yang usianya cukup jauh diatasku; mulai lancang untuk mengungkung tubuhku; dengan tangannya yang telah bertengger pada daun pintu mobil. Lekas memenjarakan iris nyalangku yang masih menatapnya tanpa gentar, meski aroma feromon begitu menguar kentara darinya. Sekali lagi, benakku berteriak: Tidak! Aku takkan lepas kendali! Takkan menuruti birahi, yang mendorongku untuk memagut bibir ranum itu—
Dan persoalan lain, telah datang padaku. Tepatnya, tatkala irisku mengerjab; selepas menerima sebuah pagutan ringan yang nyaris membuatku tercekik. Menciptakan degub abnormal, yang mengiringi rematan kesepuluh jemariku. Ini gila—dunia seakan berputar diatas kepalaku saja. dan setitik kesadaran, kembali membuatku memijak. Lekas menciptakan dorongan pada bahu pria yang langsung saja salah tingkah, "Ini salah—Seokjin oppa tak seharusnya melakukan—"
"Kita memang telah membuat kesalahan, Jieun-ah. Itu, sebuah dosa." cegat pria yang berniat kembali memagut bibirku, untuk kali kedua. Namun kembali terjeda, setelah wajahku melengos begitu saja. Menyisakannya yang langsung saja, mengusap wajah—begitu frustasi. Semuanya, terasa hening seketika. Tak ada suara laju mobil, atau tegukan saliva.
Kami sama-sama tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Menerka kekacauan yang ada, hingga suara ku muncul penuh keraguan. "Apa—semalam aku melakukan kesalahan yang fatal, seperti—bercinta? Oh, tapi aku tak merasakan nyeri atau—"
Bibirku terkulum, lantas terganti oleh umpatan lirih; sebab suhu tubuhku telah memanas seketika. Pun disebabkan oleh kalimat gamblang yang baru saja ku ungkapkan tanpa mengenal rasa malu.
"Memang tak sampai—hanya sekedar, foreplay dan—ahh, lupakan! pada intinya, kau berhasil membuatku kacau—adik ipar!" tanggap Seokjin Oppa, begitu santai. Hingga ia tak ingin mengulur waktu, untuk segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh—lantas mengimbuh: "Kau ingin makan apa?"
Bahuku menghendik malas, seraya menyandarkan punggung; untuk menatap lurus pada jalanan didepan sana. Berusaha menampik beragam kemungkinan liar yang kini hilir mudik dalam anganku. Sesekali, tanganku tergerak; untuk memukul ringan, pada sisi kepala—berharap sedikit banyak membantu mengembalikan kilas balik; ingatan malam tadi.
Sungguh, ini cukup sulit. Terakhir kali, yang ku ingat hanya—Seokjin Oppa, merebahkan tubuhku pada permukaan ranjang. Tubuhnya hendak bangkit, namun pergelangan tangannya kuraih dengan mudah; hingga pria itu berakhir roboh begitu saja. Menyisakan irisnya yang mengerjab tak percaya, tatkala tubuhku sedikit tertatih untuk mengungkungnya dibawah kendaliku. Sedikit terkekeh sinting, sebelum bibirku memagut bibir ranumnya tanpa ijin.
Sialnya. Semua tak berhenti sampai disitu saja. Tidak setelah punggungku bangkit, untuk menduduki sisi paha; agar lebih memudahkanku melepas gesper pria yang hanya mengulum bibir, tanpa berniat memberikan perlawanan. Hingga desahan sensual pria itu, serta merta menciptakan tawa miring—disela sela kulumanku, yang tengah terisi penuh oleh—
"Sialan! Apa semalam aku memberikan blow job, pada Oppa?" pekikku, membuat pria yang tengah terfokus pada jalanan didepan sana nyaris menciptakan satu kecelakaan; sebab ia mendadak menginjak rem tanpa aba-aba.
Irisnya mengerjab secara berulang, seraya mengacak surainya sedikit canggung—seakan tengah mengulur waktu dalam beberapa saat, sebelum kekehan ringannya mengudara.
"Oh—rupanya gadis nakal ini sedikit mengingat kesalahan yang telah diperbuat. Dan—sayangnya tak hanya itu saja, adik ipar! Aku bahkan telah melihat tanda lahir pada dada kiri, dan paha dalammu. Jadi, menurutmu—selain itu blow job, apa yang lagi yang telah kita perbuat hm?" goda Seokjin Oppa, seraya mengacak suraiku dengan gemas. Menyisakanku yang lekas berdecih sebal, serta merta menangkis tangannya dalam satu pergerakan seraya bersua, "Tentu, hanya itu saja."
Hingga dering ponsel, telah menginterupsi; tak pelak membuatku menilik nama yang tertera pada layar, lantas kembali mengimbuh; "Tak ingin mengangkat panggilan dari Jian Eonni? Turunkan aku disini—dan kembalilah kekantor. Lagipula, sekarang ini; aku sudah tak lapar lagi Oppa. Aku sudah kenyang dan merasa mual oleh bualan iparku ini."
Pun pria itu tak lekas menanggapi. Hanya memutar bola matanya sekilas, sebelum ia kembali menambah kecepatan laju mobil yang terus membelah angin, "Apa sekedar blow job, bisa membuatmu hamil?" satu pertanyaan bodoh dari pria itu, lantas membuatku mengudarakan satu tangan guna memberikan satu pukulan telak pada sisi kepalanya. Pun ia tak banyak bereaksi, hanya menatap gamang seraya mengimbuh, "Jika kau hamil, itu berarti aku harus menikahimu. Bukan Jian." bualnya lagi, yang tak langsung ku tanggapi. Memilih berkutat dengan segala pemikiran, hingga menyisakan keheningan—sampai sampai tegukan saliva Seokjin oppa pun dapat ku dengar.
Sesekali ku dapati Seokjin Oppa, yang tertangkap basah hendak menilikku. Hingga suara baritonnya kembali menelisik, antara bergurau—atau memang bersungguh-sungguh, saat memberikan penawaran. Katanya;
"Kurasa adik iparku ini, sudah cukup dewasa! Bahkan aku sedikit menerka, jika kau jauh lebih berpengalaman dalam hal seks—di bandingkan kakak iparmu ini. Bagaimana jika kau mencoba sesuatu yang baru, denganku? Kurasa ini ide gila, yang cukup menarik— kita bisa belajar, untuk mencoba pengalaman seks pertama. " []
***

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...