lembar limabelas

2.3K 447 71
                                    

HARUM musim semi, tak lagi semerbak. Musim panas pun, tak semenyenangkan dulu, entah mengapa. Memikirkan bagaimana waktu berjalan cepat ditengah aku yang tak bergerak, agaknya mengingatkan mengenai aku yang tak lagi memiliki arah hidup.

Arah hidup? Yah, aku sudah kehilangan itu, sejak dua tahun lalu.

Ingin tau, seperti apa arahku?

Tentu saja; itu adalah mendedikasikan waktu dan tenaga, untuk menganggu seorang Kim Seokjin.

Lalu sekarang, aku sungguh kehilangan arah, seiring menghilangnya ia—Kim Seokjin.

Sedikit hambar tanpanya, memang.

Sebab tak ada lagi, yang membuatkan makanan enak ketika aku lapar. Juga tak ada lagi pemuda yang akan membopong tubuhku masuk kedalam kamar, ketika aku tertidur diruang tengah. Lalu, sampai hari ini—yang masih diherankan, mengapa seorang Kim Seokjin selalu datang disaat aku lapar, dan tak sengaja tertidur?

Yah, barangkali—ia telah menghafal jam-jam tertentu, dari kebiasaanku; yang memang terjadi secara berulang.

Saat itu, dua tahun lalu—pasangan brengsek; Kim Seokjin dan Kim Jian, sungguh pergi, entah kemana. Tanpa pamit, ataupun janji untuk kembali.

'Benar. Pergi saja, kalian! Jangan sekali-kali menghantarkan wajah menyebalkan itu, dihadapanku!'

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutku, dipagi buta—selepas mengetahui jika seisi rumah, baru saja menghantarkan Kim Seokjin dan Jian, untuk melakuan penerbangan.

Kemana sebenarnya mereka pergi?

Hingga musim terus saja berganti, papa dan mama; sungguh tak memberitauku, mengenai hal tersebut.

Cemas aku akan menyusul dan kembali menempel pada Kim Seokjin, barangkali?

"Melamun?" tanya seseorang. "Aku tidak menggajimu, hanya untuk bersantai, nona Lee." Imbuhnya, lagi.

Sontak membawa tubuhku lekas bangkit dengan malas. Sekilas menyimpan surai pada daun telinga, sebelum menanggapi, "Jika demikian, maka biarkan aku berhenti bekerja saja, tuan Kim."

Pemuda yang sekilas menurunkan bingkai kacamata cokelat kemerahannya, lantas tertawa terbahak-bahak. Lantas menutup buku yang sedari tadi begitu menyita waktu serta perhatiannya, hanya untuk menatapku lamat. "Benar. Tanpa bekerja pun, kau masih menyimpan pundi-pundi uang. Haruskah aku sungguh memberhentikanmu?" tanyanya.

"Tidak." jawabku, lugas. "Aku hanya bercanda, tuan. Maaf." Sambungku, yang lekas menurunkan punggung dengan sopan.

Melangkah mantap kearah jendela yang tirainya kusingkap. Sekilas menilik pada suasana ramai namun tertib diluaran sana, sebelum berkata, "Cuaca Ceko hari ini sangat mendukung untuk pertemuan, Daepyeonim."

Kim Namjoon, pemuda yang tiga bulan terakhir selalu ku ekori karena urusan pekerjaan, serta merta bangkit bersama ketukan ujung sepatunya. Sembari menyimpan kedua tangan dalam saku celana, ia yang memiliki tinggi jauh dibandingku, lantas sedikit menurunkan punggungya hanya untuk menyamai ku; yang puncak kepalanya ia acak gemas.

Seketika menciptakan tepisan tangan tanpa segan dariku yang lekas berkata, "Seorang atasan, tidak boleh melakukan kontak fisik pada bawahannya! mau kulaporkan atas tuduhan pelecehan 'ha?" serangku, dan sontak saja meledakkan tawa pemuda yang mengangguk faham.

Oh, apa selera humor pemuda itu buruk? Sejak aku datang memberikan resume untuknya di tiga bulan lalu, ia terus saja tertawa sinting—dihadapanku.

"Jika aku ingin, bahkan aku bisa melecehkanmu, sedari dulu." Jawab Kim Namjoon, enteng. "Tidak ingat siapa yang selalu kalah dalam pertandingan minum, hm? jelas, aku memiliki puluhan kali kesempatan; untuk melecehkanmu yang selalu pulang dalam keadaan mabuk berat." ungkapnya, mengingatkan.

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang