SEBAGAI kepala keluarga yang juga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam susunan keluarga, papa itu merupakan seorang otoriter, yang selalu ditakuti oleh seisi rumah. Bahkan anjing buldog tetanggapun, akan menciut nyalinya jika mendengar sambaran suara tegas papa yang begitu menggelegar, hanya karena alasan sepele seperti; aku yang lupa menyirami tanaman disore hari. Namun bukan anak bungsu namanya, jika tak mendapatkan limpahan perhatian oleh seluruh orang rumah. Oleh sebabnya, sedari kecil, Jian selalu mengatakan jika ia begitu menaruh rasa cemburu padaku, yang tak pernah disambar oleh kemarahan papa dan mama.
Mengenai sejuta peraturan rumah yang papa buat, agaknya tak cukup berpengaruh padaku, sebab sikap serampanganku tetap saja tak dapat beliau kendalikan. Alih-alih memarahi sampai menangis tatkala aku telah tertangkap basah membuat sebuah kesalahan, papa malah lebih memilih untuk menghela nafas dengan tenang, lalu menasihatiku secara baik-baik. Fikir beliau, aku itu memiliki kepribadian unik, yang bisa kapan saja berbuat diluar kendali. Maka tak salah jika aku yang pembangkang, malah mendapatkan perlakuan spesial dari orang-orang sekitar yang menaruh kekhawatiran mengenai aku yang barangkali akan angkat kaki dari rumah.
Meski demikian, bukan berarti pula jika aku tak pernah mendapat semprotan nada tinggi papa. Jika diingat baik-baik, gendang telingaku bahkan nyaris tuli, serta hampir saja membuat papa terkena serangan jantung, manakala di satu malam; aku yang masih ingusan, lantas diantar pulang oleh seorang pria asing yang kutemui dalam bar, karena sanking mabuknya. Hal itulah, yang lantas memicu kemarahan papa, di keesokan harinya. Bahkan satu ember air, telah diguyur tepat diatas wajahku dengan kejam, sebab alarm yang berasal dari gelegar suara papa, sama sekali tak berfungsi untuk membangunkanku.
"Kau itu anak gadis, Lee Jieun! setidaknya jaga dirimu baik-baik, ketika papa tidak bisa menjagamu dalam dua puluh empat jam. Keberhasilan orangtua itu, ketika mereka mampu mendidik anak-anaknya. Jadi berhenti keluyuran sampai keluar masuk bar, dan fokuslah pada pendidikanmu." kata papa pagi itu, dan hanya kutanggapi dengan pergerakan malas untuk mengucek kelopak manikku, sembari menguap lebar.
Sedari kecil hingga sekarang ini aku menginjak dewasa, papa memang selalu memberlakukan peraturan ketat dalam pengawasanku. Dan itu, adalah alasan pertama—mengapa sedari dulu, percintaanku selalu berakhir tak lancar. Namun anehnya, peraturan semacam itu malah tidak berlaku untuk Jian. Kakak perempuanku itu bahkan begitu dibebaskan untuk membawa pria keluar masuk pintu rumah, dengan dalih kawan sepermainannya. Ah, siapa yang tau, jika ia berbohong? Malah dulu aku sempat berasumsi jika Jian itu wanita bayaran, karena sanking seringnya bergonta-ganti pria.
Lalu, mari lihat gurat amarah yang kini ditampilkan oleh papa. Itu sama persis, seperti saat dimana ia mendapatiku yang dulu sempat dibawa pulang oleh pria asing dalam keadaan mabuk. Barangkali papa itu terlalu overprotective terhadapku, sebab dibandingkan Jian, akulah anak yang sulit diatur. Atau mungkin, karena aku lebih cantik dan mempesona dibanding Jian? oleh sebabnya, papa mencemaskanku yang besar kemungkinan akan menjadi target bermain oleh para pria tak bertanggung jawab, diluaran sana. Oh tidak, sepertinya tingkat kepercayaan diriku, sedikit tak masuk akal.
Menghela napas sekilas, bersama suara berat dan lugas, papa pun berakhir memecah keheningan terlebih dahulu. "Apa yang kau lakukan terhadap puteriku, Seokjin-ah? berani-beraninya kau?" tanya papa, sembari mencengkram sisi lutut yang berbalut celana panjang, sementara aku malah memainkan kuku jemari dengan santai.
Papa yang mulanya hanya menargetkan Seokjin oppa sebagai tersangka, dimenit selanjutnya malah mulai membawa-bawa namaku. "Lee Jieun! bukankah papa sudah pernah mengajarkan tinju padamu 'huh? jangan katakan, kau juga melupakan petuah papa?" mendengar nada tinggi yang terlontar dari papa, aku yang sedari tadi menaikkan kaki diatas sofa bak seorang yang tak memiliki sopan santun, mendadak membenarkan sikap dudukku. Sekilas mengamati sekeliling, dimana Jian tengah berada dalam satu sofa yang sama dengan Hoseok, lalu Seokjin oppa yang bersama dengan mama, sedangkan aku; tentu saja duduk bersama papa.

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...