SEMENTARA sang fajar tengah bersibuk ria untuk menyongsong sinar terangnya, aku yang telah terlebih dulu terjaga jauh sebelum pagi-pagi buta; masih saja berjibaku terhadap suara langkah, yang kujaga sedemikian lirih. Menapaki lantai marmer dengan telapak telanjang, sebab hells setinggi lima centimeter ku telah tertenteng pada masing-masing tangan. Menyisakanku yang masih mengendap ditengah remang cahaya ruangan demi ruangan—pun seketika bernapas lega, selepas daun pintu kamarku telah terayun pelan.
Meski kerap dipergoki mama atau papa ketika aku pulang larut sampai dini hari sekalipun—namun untuk kali ini saja, aku benar-benar harus lolos dengan selamat, jikalau tak ingin terkena timpukan perabotan dapur, juga gulungan koran milik papa. Yah, memangnya orangtua mana, yang tak akan melakukan hal serupa jika mendapati anak gadisnya tak pulang semalaman; dan malah kembali dengan—masih—menggunakan pakaian seorang pria, lengkap dengan aroma parfurm serta feromon; yang jelas akan menimbulkan beragam asumsi negatif?
Sebenarnya jika ketahuan pun, aku bisa saja berkilah mengenai pakaian yang kukenakan ini adalah milik teman dekatku—Park Jimin, yang nyatanya kerap wara-wiri kerumah dengan gaya sedikit feminim. Tentunya mama dan papa juga akan sedikit mempercayai bualanku yang beralasan, 'Aku menginap dirumah Jimin untuk mengerjakan tugas, ma!' karena tidak membawa baju ganti, makanya aku meminjam baju Jimin.'
Terkekeh pelan bak manusia setengah sinting, aku yang semula sempat bersadar pada daun pintu, lantas menyeret tungkai dengan ringan. Lekas menerangkan ruang kamar yang sebelumnya menggelap, hingga jantungku nyaris jatuh tatkala kudapati seseorang tengah bersidekap diatas ranjang—bersama sorot tajam, persis seperti hewan buas kelaparan yang tengah menargetkan mangsanya.
Kembali melanjutkan langkah dengan acuh sembari mengelus dada; akupun berkata, "Eonnie, mengagetkan saja." sedikit merasa was-was, kalau-kalau aku akan diinterogasi saat ini, sedangkan naskah belum kususun rapih, akupun menyela, "Aduh, aku mengantuk. Kembali kekamarmu, sana. Semalam aku clubbing sampai—"
"Sampai kerumah Seokjin?" potong Jian, sontak saja mengatupkan bibirku yang lantas terkulum singkat hingga gadis bersurai diatas bahu yang kini bersedikap, kembali mengimbuh, "Bahkan dari aromanya saja, aku dapat menebak baju siapa yang tengah kau kenakan itu. Oh, atau aku harus memberi kartu kreditku untukmu saja, ya? Ambil dan belanjakan pakaian, sesuka hatimu. Mungkin itu bisa membantu, agar kau tak lagi meminjam barang-barang milik kekasihku."
Mendapat hinaan dari Jian, lantas kubuang sepasang hells yang sempat kutenteng, hingga barang cantik itu telah membentur sudut dinding dengan cukup keras. Serta merta menyimpan kedua tangan pada saku celana kebesaran, akupun berjalan mendekat kearah Jian yang turut memandangku tak suka. Ia yang kutangkap acapkali merotasikan iris malas tepat didepan mata kepalaku, agaknya berpengaruh dalam hal menyulut emosi, yang sampai hitungan ketiga, seketika meledak hebat.
"Kau," geramku seraya mengudarakan jari telunjuk, tepat dihadapan paras menawan Jian. "Perlu kubawakan cermin itu untukmu 'ha?" lanjutku sembari merubah arah telunjuk pada lemari kaca yang berada disisi kanan tubuhku, "Dibanding meminjam kartu kreditmu, akan lebih baik jika aku memintanya langsung pada Seokjin oppa. Toh uangmu itu, juga berasal darinya 'kan? jadi disini, siapa yang lebih miskin? Aku yang meminjam pakaian dengan nilai tak seberapa ini, atau kau yang selalu mengemis uang padanya?"
Baiklah. Barangkali aku sedikiit keterlaluan, karena telah menggunakan kata 'mengemis' dihadapan gadis yang harusnya kuhormati, jika memandang silsilah keluarga. Namun apa boleh dikata. Kalimat itu telah terlontar enteng tanpa sempat kusaring terlebih dulu. Maka aku hanya menunggu tanggapan dari Jian—yang mungkin saja akan segera melayangkan tamparannya, padaku. Lalu akan kuhantarkan sisi wajahku dengan senang hati.
Tak kunjung mendapatkan apa yang sebelumnya sempat terfikirkan olehku, mendadak aku dibuat canggung kala Jian menebak, "Kau menyukai Kim Seokjin 'kan?"
Aku yang mendengus singkat, lantas menyisir poniku kebelakang. "Aku, tidak." singkatku, seadanya. "Aku hanya simpati padanya, karena eonnie seolah tak pernah menganggap pria bodoh itu sebagai kekasih." kembali menyeret langkah hingga mencapai tepi ranjang, aku yang segera menempatkan diri untuk duduk sejajar pada gadis yang malah bangkit; seolah menghindariku, lantas buru-buru kusela, "Eonnie tak pernah memiliki waktu untuk si bodoh itu. Bahkan mengabaikan ia, dan secara terang-terangan menatap pria lain. Jika kau, merasa tak lagi memiliki persaan pada Seokjin oppa, kenapa tidak putuskan hubungan kalian saja?"
"Tidak. Karena ia bernilai, untuk karirku." menjawab penuh ketegasan, gadis bertubuh ramping yang lantas menjauhkan punggung, mendadak menghentikan langkah; tepat disisi daun pintu yang hendak diayunkan. Memandang sekilas pada sandal rumahan berwarna pink pastel, sebelum manik jelaganya kembali menyorot kearahku sembari berkata, "Kudengar, kau berpacaran dengan Jung Hoseok, teman Namjoon 'kan? itu berarti, sedikit banyak kau telah mengetahui hubunganku dengan Namjoon. Maka, kita permudah situasi ini saja, Jieun-ah." sembari menyelipkan sedikit tawa singkat, Jian pun kembali mengimbuh, "Jujur saja kau mencoba menerima Hoseok, karena ingin menyingkirkan perasaanmu terhadap Seokjin 'kan? yah, itu memang sudah sepantasnya kau lakukan—karena bagaimanapun, pernikahanku dengannya, tetap akan terselenggara." menjeda, guna meneguk ludah dalam beberapa waktu—tubuh Jian yang mulanya berbicara dengan memunggungiku, lantas berotasi bersama kesepakatan, "Tapi sebenarnya, kau tak perlu bersusah payah untuk itu sih. Karena aku, dengan sukarela, akan membebaskanmu bersama Kim Seokjin. Itupun selagi kalian juga membebaskanku dengan Namjoon. Yah, katakanlah hubunganku dengan Seokjin itu, hanya sebatas status—tanpa perasaan. Dan masing-masing dari kita masih bisa berhubungan dengan pasangan yang kita inginkan. Bagaimana, menurutmu?"
Konyol. Otak kakak perempuanku itu, dimana sih? Jian sungguh cocok untuk berperan sebagai karakter antagonis dalam sebuah drama.
"Keluar sana! Kau itu kebanyakan beromong kosong. Aku ingin tidur, dan jangan bangunkan aku sampai tengah hari nanti." kataku, sekenanya. Memilih untuk berbaring dan bergelung dengan selimut, menenggelamkan sisi wajahku pada bantal empuk, serta mengatupkan iris—berusaha untuk kembali melanjutkan mimpiku yang sempat terjeda oleh aktivitas meloloskan diri dari dekapan erat Seokjin oppa, dini hari tadi.
Sialnya, aroma tubuh Kim Seokjin sungguh memenuhi tubuhku. Sedikit membuatku kesal, hingga kembali bangkit; untuk menanggalkan seluruh pakaian yang lantas kubuang kesembarang arah. Serta merta merebahkan dan menyamankan diri untuk kali kedua, dibawah gumulan selimut yang menyisakan bahu telanjang dengan tali bra, hingga kekacauan kembali membawaku melebarkan iris—manakala sebuah teriakan bergema, "Jieun-ah?"
Tak menyahut, sebab fikirku aku kembali dihantui oleh suara berat yang sampai sekarang masih tak henti melengking tinggi, aku yang masih bersembunyi dibalik selimut, mendadak dikejutkan oleh gebrakan daun pintu beserta kemunculan seorang pemuda yang mengenakan tshirt putih berpadu celana pendek. Kedatangannya yang beriringan dengan terbitnya sang fajar, seketika menciptakan situasi canggung tatkala tanpa tahu malunya ia berlari kecil, lalu berkata, "Untung saja, aku tak salah masuk kamar." bersama hembus napas pendek, ia pun kembali berseru, "Kau tahu tidak? Sepulang pergi bersamamu, aku lantas pergi minum bersama Namjoon hyung—lalu aku mabuk, dan aku tertidur dikamarnya."
Masih tak dapat memahami perkataan yang diucapkan oleh pemuda yang sepasang mata berkantungnya masih terlihat bengkak, ia pun kembali menerangkan, "Dan aku buru-buru kemari, karena ingin melaporkan, jika dikamar Namjoon hyung—terdapat fotomu. Bukan foto kau dan Jian, tapi benar-benar fotomu!" berseru menggebu, aku yang hanya membalas melalui satu alis menukik, lantas kian mengeratkan tepi selimut, sedikit was-was. Hingga perubahan airmuka pemuda dihadapanku berangsur menegang, akupun nyaris melayangkan satu pukulan sembari berkata,
"Tuan Jung Hoseok yang terhormat. Lain kali, tolong pergunakan sopan santunmu. Minimalnya ketuklah pintu, sebelum menerobos pintu kamar orang lain. Memang kau tak sadar, jika tubuh indahku ini sedang tak mengenakan pakaian dibalik selimut 'ha? Keluar sana, brengsek mesum!" []
***
Jangan tanya kenapa Seokjin tidak muncul dichapter ini, soalnya dia masih kencan sama aku. Hehe.

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...