RASANYA ada narasi yang terlewat, pada episode perkenalan papa, dariku. Hal itu mengenai hobi berburu papa, sampai-sampai koleksi senapan angin dari segala macam tipe, telah berjajar cantik diruang kerja yang letaknya kini tak jauh dari ruang tengah—dimana sekarang ini kami telah berkumpul, dengan raut tegang.
Lantas, tidakah sekarang ini kalian memikirkan hal yang sama denganku? itu perihal kecemasan jikalau setelah ini papa akan murka, dan tak segan untuk menghentak lantai dengan langkah terburu guna memasuki ruang penyimpanan senjata dan menarik pelatuk pada dua pemuda yang dianggapnya sebagai target buruan.
Lalu bak hakim yang siap mengetuk palu pada meja hijau, papa yang sedari tadi tak gentar kala mengadili dua pria yang saling bersitegang; malah selanjutnya tengah kurayu dengan rangkulan manja sembari berkata, “Sudahlah, pa. Seokjin oppa itu memang sedikit sinting. Jangan didengarkan,” melirik sekilas kearah pemuda lain berpenampilan berantakan dengan surai legam serta raut yang menyambut bagai secerah mentari pagi, lantas kembali aku melanjutkan, “Dan Jung Hoseok—kekasihku, rupanya juga agak sedikit sinting, pa. Yah, pria sinting memang tipeku sekali, sih. Tapi dia itu, yang ter-sinting, lho.” racauku asal, serta penuh penekanan pada kata kekasih, dan sontak saja mendelikkan sepasang manik pemuda yang mulutnya hendak terbuka untuk melontarkan sanggahan namun buru-buru ku sela dengan bangkitnya tubuhku.
Aku yang segera bertepuk tangan sembari terkekeh ringan, selanjutnya lantas bermonolog, “Wah, sudah saatnya pergi mandi.” nampak jelas untuk berniat kabur dari situasi canggung yang melibatkan seluruh orang rumah, langkah terseret yang kuambil dengan sedikit susah payahpun berakhir gagal tatkala seseorang mendadak menyela bersama nada penuh penekanan, kala ia berkata, “Sampai sekaratpun, aku tak akan melepaskan Kim Seokjin, abeoji.” sontak membawaku untuk kembali merotasikan tubuh, punggungku yang mulai memiliki jarak pada beberapa kepala yang kini turut memandangku—pun berakhir kembali kuacuhkan.
Memilih untuk melanjutkan langkah, hingga suara yang telah kupastikan adalah milik Jian, lagi-lagi menginterupsi, “Anggap saja hari ini tidak terjadi apapun. Aku akan memaklumi kesalahpahaman ini. Pada intinya, pernikahan itu harus tetap terselenggara—dan dipercepat.”
Menyisakanku yang hanya menghela napas begitu perlahan serta kecamuk perasaan yang nyaris menciptakan sebuah makian tanpa sebab, aku pun mulai berkacak pinggang sembari menyingkirkan anakan surai berantakanku.
Melirik sekilas kearah gadis yang kini menampilkan seringai tipis, hingga pemandangan menjijikan nyaris saja menyakiti sepasang bola mataku kala kutemui Jian eonnie telah bergelayut manja pada satu lengan Kim Seokjin. Oh tidak. Aku tak boleh memiliki perasaan jengkel terhadap keduanya. Jelas, aku tak memiliki hak, untuk itu.
“Menikah saja, secepatnya. Yah, itupun jika kalian membutuhkan pengiring pengantin yang cantik sepertiku. Pada intinya sih, jika pernikahan kalian berdua terus ditunda-tunda, aku tidak janji akan hadir dipesta kalian. Aku kan’ mahasiswa sibuk. Bahkan lusa, harus berangkat ke Jepang untuk melakukan pertukaran pelajar dan—“
“Benarkah? Kenapa papa dan mama tidak diberitau jika lusa kau akan ke Jepang, Jieunnie?” sela papa yang segera beranjak dari singgasananya, lantas menghampiriku; dan kusambut dengan rangkulan manja sembari beralasan, “Kejutan, pa. Begini-begini, aku itu berprestasi loh.”
Mendapat usakan gemas dari papa pada puncak kepala, aku yang diam-diam melirik kearah Jian; seketika mendapat tatap tak suka darinya, yang jelas saja sudah kutebak. Ketahuilah, jika saudari perempuanku yang perfeksionis itu, tentu memiliki nilai kurang. Dan betapa tidak beruntungnya ia, yang kelemahannya ialah selalu menaruh rasa iri hati atas apa yang kumiliki.
Lalu mari sedikit mencuri tatap pada Seokjin oppa, yang hanya berdiam diri ditempat; dengan membiarkan Jian bergelayut manja pada satu lengannya. Pun meski demikian, dapat kutangkap jika sorot nyalang pemuda itu, jelas tak sepersekon pun lepas dariku—yang perlahan menghilang dari arah pandangnya. Bukankah si pembuat onar, Kim Seokjin; cukup brengsek juga?
Selepas papa memberikan kecupan dahi dengan hangat, aku yang selanjutnya mendebumkan daun pintu dengan lirih, lagi-lagi dibuat geram akan bisingnya dering ponsel yang nama pada layarnya sedikit menciptakan raut masam; sesaat sebelum mencerca, “Kenapa menelfon? pulang saja, sana!” perintahku, yang malah dijawab kekeh terpingkal dari pemuda yang buru-buru menjawab, “Tanpa kau suruh pun, aku akan pulang, baby. Sekarang aku sedang berada didalam mobil.”
Mendengar nada mendayu dari pria yang dengan amat sangat menyesal harus kuakui sebagai kekasih, aku yang enggan menjawab sebab memilih untuk menyibukkan diri, lantas dihentikan oleh kalimat Jung Hoseok yang berkata, “Biar kuberitau, kau, gadis liar yang mengenakan bra hitam. Setidaknya tutup dulu tirai jendela kamarmu, jika ingin melepas pakaian. Lekuk tubuhmu nampak jelas, dari bawah sini.”
Sontak saja hal tersebut lantas membuatku membuang pandangan kearah kaca transparant yang berada tepat disisiku. Hingga kutemui seorang pria dari dalam mobil yang kini tengah melambaikan tangan kearahku—dalam sekali pergerakan, lantas kutarik tirai berwarna monokrom. Menutupnya tanpa celah, membuat sang pemuda yang masih melangsungkan panggilan, kembali berkata, “Santai saja. Aku akan berpura-pura tak melihat apapun, kok. Aku kan’ ahlinya dalam menyimpan rahasia.”
Tak langsung menanggapi serta lebih memilih untuk mencepol asal seluruh suraiku terlebih dahulu sebelum meraih bathrobe, kembali pria disebrang sana mencerocos, “Calon iparmu itu, tak punya pendirian juga, ya? tadi, selepas kau memasuki kamar, dia yang mulanya bersikukuh ingin membatalkan pernikahan dengan Jian, malah berakhir menyetujui adanya pernikahan.”
“Diam, bodoh. Suaramu itu, memekakan pendengaranku, tau!” balasku, sekenanya. Bersama serangan panik serta degub abnormal, akupun mengimbuh, “Sore nanti, kita harus kembali bertemu, Hoseok-ah. Sekarang fokuslah menyetir, dan panggilan ini akan kuputus.”
Tak sempat menunggu jawaban dari Jung Hoseok, aku yang segera memutus panggilan, lantas menerbangkan kotak kecil itu hingga menggelinding jatuh tepat ditengah ranjang. Menyisakanku yang menerbangkan anakan poni, bersama terkaan gila—hingga suara debum pintu, lantas membuatku terlonjak kaget.
Mendapati seorang yang menatapku sembari terengah, raut frustasi pemuda yang kutangkap tengah menyempatkan diri untuk menyisir surai legamnya kebelakang, lantas kutanya, “K—kenapa?” bersamaan dengan itu, sepuluh jemariku pun kian mengerat pada sisi bathrobe. Takut-takut, pemuda yang mulai mengambil langkah terseret, akan bersikap diluar kendali. Yah, siapa yang tau?
“Kau berniat menakutiku dengan ekspresi itu, ya?” kataku, sedikit menyelipkan tawa kecil namun tak berbalas.
Kim Seokjin. Pemuda yang kini berdiri satu langkah dihadapanku, lantas menelanjangiku melalui tatap sendu namun hangat. Ia yang kutangkap basah tengah menyelipkan tarikan tipis pada dua sudut bibirnya, mendadak menggapai pinggang rampingku tanpa sebuah alasan. Membawa tubuhku untuk meringsak dalam dekapan, yang berpadu akan usapan hangat pada puncak kepalaku.
“Bukankah akan sangat serakah, jika aku tetap menikahi Jian, namun masih mengharapkanmu?” mengembuskan nafas disekitaran ceruk leher, Seokjin oppa yang kian mengeratkan dekapannya, lantas kembali berkata, “Jadi, kutanya sekali lagi. Apa kau bersedia menikah denganku, Lee Jieun?”
“Tidak,” jawabku, lugas. “Tentu saja, tidak, oppa. Aku sungguh tak akan mengkhianati Jian.” ulangku lagi, hingga berbalas dengan merenggangnya dekapan pemuda yang selanjutnya mulai menciptakan jarak. Ia yang sialnya malah menyihirku tatkala menampilkan lengkung bibir menawan dalam sepersekian detik, lantas diakhiri dengan satu tangannya yang menyerangku dengan cubitan gemas pada satu pipiku.
“Baiklah, baiklah. Yah, aku tau; meski arogan, kau memang anak yang baik, Jieunnie.” sanjung Seokjin oppa. Serta merta menurunkan tangan yang sedari tadi bertengger manis pada satu pipiku, untuk digantikannya pada satu bahu yang selanjutnya ia cengkram erat-erat. “Tetap jadi adik oppa yang manis ya, Jieunnie?” titah Seokjin oppa. Sedikit menelan ludah dengan susah payah, hingga setelahnya, lantas ia terbitkan senyum tipis yang perlahan mengembang.
Mengerutkan alis tak mengerti, tubuhku yang kembali diraih oleh pemuda yang kembali mengusakkan wajah basahnya pada ceruk leherku—serta merta mengejutkanku melalui satu kecupan ringan diatas pucuk bibirku dengan dalih, “Sebagai hadiah perpisahan, adik ipar.”
Oh, apa maksudnya?
Lalu, manakala sepasang tangan kurus-ku hendak melingkari tubuh tegap pemuda yang bahunya perlahan bergetar sedikit terisak, bersama dengan terjedanya pergerakanku, lantas pemuda itu bisikkan sederet kalimat yang nyaris saja meledakkan pelupuk ku, disaat yang sama. Katanya, “Tetaplah disini. Kau tak perlu pergi ke Jepang, atau kemanapun, Jieunnie. Biar aku saja, yang menjauh darimu.”
Membeku tanpa sebuah pertanyaan, serta menyisakan aku yang hanya menatap kosong, kembali Seokjin oppa melanjutkan, “Setelah pesta pernikahan, aku dan Jian akan pergi dari Seoul. Kau, jaga dirilah baik-baik. Dan pilihlah pemuda yang bisa menjagamu. Mengerti, Jieunnie? “ []
***
Hallo? Apa kabar?
Huh, ini pertama kalinya aku kembali setelah beberapa pekan, meninggalkan wattpad. Rasanya, sedikit asing. Jadi aku tidak tau, apakah gaya menulis ku masih sama atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...