Lembar duapuluh lima

1.8K 190 27
                                    

          INGIN tahu alasan dibalik aku yang kini; tengah bersusah payah menahan tarikan pada dua sudut bibir?... ialah degub jantung lawan pandangku, yang terdengar berisik; tak karuan. Manakala kudapati dua belah pipi yang merona, serta memerahnya daun telinga—tak ayal membawaku turut tersipu, namun tertawa terbahak; setelahnya. Aku yang nyaris saja tersedak ludah selepas menangkap raut berharap dari seorang pria dewasa; yang sudah kupastikan—ia baru saja berkelana bersama pemikiran tak senonohnya.

Oh, ayolah.. aku tak bodoh. Bukan pula tak ingin. Hanya tengah mencoba membangun benteng pertahanan. Maka, biarkan aku menjadi penggoda lugu.. yang hanya sebatas berkata, tanpa bertindak. Musabab, aku sungguh tak memiliki keberanian lebih, atas segala hal yang berkaitan dengan seorang Kim Seokjin.

"Dadd?" panggilku, namun kali ini sedikit memasang raut berbeda dari sebelumnya; "Apa daddy sungguh menyayangiku?" kataku mulai berbicara asal, seraya merentangkan kedua tangan. Pun pemuda yang malah menyambut dengan tukikkan sebelah alis; tampak memasang raut kecurigaan atas gerik ku yang secara tiba-tiba malah bergelayut manja padanya. "... jika daddy sungguh menyayangiku, tidak bisakah kau membelikanku mobil keluaran terbaru atau rumah mewah, hm? ohh, atau kau berikan aku uang yang banyak saja. Aku butuh perawatan, dadd. Beberapa minggu terakhir, aku sungguh tak mendapatkan cukup tidur."

Melingkarkan lengan pada tengkuk si jangkung bersama tawa tertahan, aku yang kembali berhadapan dengan Seokjin oppa—mendadak diserang rasa gugup, hingga tanpa sebuah alasan lantas kuhantam dahi Seokjin oppa. Membuat sang dahi kebanggaannya telah beradu dengan kepala, yang tentu saja turut menyisakan pening untukku. "Tidak jadi lah! Sepertinya kau tak cukup memiliki banyak uang untuk memberikan apa yang ku mau."

Lalu kepuasan selanjutnya, adalah ketika kudapati raut dibuat-buat Seokjin oppa; seolah-olah ia tengah menerima rasa sakit yang teramat. Mengaduh, juga memberi usapan diatas dahi yang rupanya tampak sedikit memerah.

          "Sakitnya tidak seberapa. Jangan berlagak kesakitan itu, oppa. Lagipula, memangnya oppa sungguh tidak memiliki uang sebanyak itu, ya?" ejekku,  mulai merotasikan tubuh; memilih menjauhi pria yang menyembunyikan raut jengkel, lantas beralih fokus pada semangkuk ramyeon—yang tampaknya sedikit mengembang. "Padahal, aku sempat berpikir ingin menjadi wanita simpananmu. Tapi ku urungkan saja. Ternyata kau tidak cukup kaya. Oh! dan lagi.. memangnya, panggilan Daddy itu memiliki makna tersendiri, ha? kenapa pula setelah panggilan itu muncul dari mulutku, wajahmu langsung merah seperti buah tomat? fantasi oppa sungguh berlebihan. Menakutkan."

          Sempat melempar tawa miring sekilas pada pria dewasa yang hanya menatap canggung, setelahnya lantas kubuang pandang; mencari keberadaan kain yang dapat melindungi tanganku dari hantaran panas—hendak membawa mangkuk ramyeon yang asapnya masih samar-samar mengepul.

Namun belum lagi kudapati apa yang kucari, pergerakan tak terbaca Seokjin oppa yang dengan sigap telah mencuri mangkuk dihadapanku—serta merta menciptakan kuluman bibir dariku, yang menganggap ia benar tak berubah; masih menjadi andalan, baik untuk hal kecil sekalipun.

Kamipun lantas saling menaruh diri diatas sofa. Sedang aku masih dalam pikiran keruhku, seorang pria dewasa yang bersiap menyantap semangkuk ramyeon itupun memilih menekan tombol power; untuk menghidupkan layar televisi di dini hari—yang kurasa hal tersebut hanyalah alibi; agar nantinya dapat mengisi suara ditengah suasana senyap.

          "Jieunnie, ambilkan minum." memerintah tanpa menaruh wajah padaku, tak lantas membuatku beranjak. Malah memilih merapat ke arah pria yang mendelik; selepas ku serobot satu mangkuk yang baru sekali suap ia nikmati. "Lee Jieun, berhenti berulah! aku lapar, dan itu makananku."

          Mendengar nada jengkel dari Seokjin oppa, tak ayal menciptakan senyum miring dariku; yang menaruh tatap padanya—masih dengan ramyeon yang menyumpal mulutku. Menatap bak bocah kecil kearah pria yang selanjutnya mengacak surai frustasi, tatkala mendapati aku yang berkata, "Jika oppa masih lapar, kau bisa memakanku. Oh maksudnya, memakan tingkah konyolku.. yang pastinya akan membuatmu mendadak kenyang, karna kehilangan napsu makan."

          Aku yang tak henti terkikik tanpa sebuah alasan, lantas dibungkam oleh pergerakan pria yang secara tiba-tiba; menaruh wajah tepat dihadapanku yang mengedip beberapa kali. Hingga hendak ku beri satu suapan ramyeon pada pria yang dengan cekatannya membuang wajah, akupun kembali dikejutkan oleh ia yang berkata, "Aku kemari hanya untuk memastikan suatu hal," melirik sekilas padaku yang masih menatap kosong, ia pun mengimbuh, "... mana yang lebih baik, diantara menjadi manusia jahat.. atau menjadi pecundang yang berlagak baik."

          Sementara Seokjin oppa masih menatapku dengan sorot teduh, tampaklah aku yang hanya mengunyah ramyeon; dengan masih membalas tatapnya. Sesekali mengangguk tanpa sebuah jawaban, serta mengulum sepasang sumpit; untuk mendapatkan sisa pedas dari sana.

          "Lalu, apa oppa sudah mendapat jawabannya? menurutmu, mana yang lebih baik hm?" aku yang meletakan mangkuk ramyeon untuk digantikan dengan segelas air mineral, pun sesekali mencuri pandang pada Seokjin oppa yang tampak tengah berpikir. "...jika disuruh memilih, aku tidak akan memilih kedua opsi yang kau pikirkan itu. Sesungguhnya menjadi manusia yang apa adanya diriku, adalah yang paling mengesankan. Kau tak perlu menjadi hitam ataupun putih. Jadi saja abu-abu, yang bebas menjadi si jahat dan si baik; sesuai dengan porsinya."

          Melirik pada pemuda yang tak henti memberi tatap padaku, lantas ku teguk habis; air mineral yang mulanya mengisi gelas dengan penuh, hingga kini isiannya telah habis. Menyisakan denting arloji yang memekakan rungu, hingga selanjutnya sebuah sentuhan pada satu bahuku; serta merta membawa pandangku terarah pada Seokjin oppa yang entah dimenit keberapa, telah mencuri start untuk mengecup puncak bibirku—singkat.

          "Kau.." belum sempat kalimatku terselesaikan; sekali lagi, kudapati ia yang kembali mengecup puncak bibirku. Tentang ia yang selalu mengakhiri kecupannya dengan sebuah tarikan sudut bibir, adalah senjata andalan; untuk membungkamku.

          "Tidak sekalipun, aku berfikir untuk menghapus nama Lee Jieun." lirihnya, bersama debar menggila. Perihal aku yang kini terhimpit oleh jarak serta degub abnormal Seokjin oppa, tak pelak membawa sisi wajahku merona padam; terlebih setelah ia kembali mengimbuh, "... dan kebodohan terbesarku sejauh ini, adalah menikahi Lee Jian. Membuat situasi kita semakin rumit, dengan rasa takut kita atas stigma orang lain. Maaf telah membuatmu kesulitan selama ini, Jieunnie. Seperti katamu, selama ini aku telah menjadi abu-abu.. menjadi seseorang yang egois namun naïf; karena berusaha berada ditengah, agar tak menyakiti beberapa pihak. Tapi itu tidak mudah, Jieunnie." bersama suara bergetar, pria yang tak lagi memberi matanya untuk memandangku; pun kembali berkata, "Bantu aku. Bantu aku menemukan jawabannya. Jika menghapus perasaan padamu adalah terbaik, kumohon bantu aku untuk..."

          Tidak. Bukankah kita tak perlu takut akan seperti apa karakter kita dalam versi cerita orang lain? lagipula, jika hidup hanya berlangsung sekali dan kehilangan adalah ketakutan terbesar; mengapa kita tak berusaha memertahankan apa yang seharusnya milik kita?

          Hingga detik terakhir Seokjin oppa hendak menyerahkan seluruh perasaannya, ia yang diambang putus asa—mendadak dikejutkan oleh lingkaran kedua lenganku. Bagaimana kalimatnya kuhentikan dengan sebuah ciuman panjang, adalah opsi terbaik... sebab selang beberapa waktu, pintu utama telah terdorong; bersama seseorang dibaliknya. Mereka yang menatap dengan raut terkejut, namun kubalas dengan tawa miring diatas lumatan bibir bawah pria yang hanya terpejam tak mengerti.

... agar tak lagi abu-abu, maka kuputuskan untuk menjadi hitam; yang pahit, namun memiliki kejelasan. []

--o0o--

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang