Lembar duapuluh empat

1.2K 209 42
                                    

CEKO adalah mimpi singkatku, yang seisinya begitu kurindukan. Mimpi yang sempat terbangkan akal sehat, sampai seringkali aku berpikir; harusnya saat itu langkah gamangku tak beranjak; meninggalkan. Aku penasaran, tentang bagaimana cerita selanjutnya, jikalau waktu itu aku menaikan telunjuk dihadapan wajah seorang Kim Seokjin, sembari memberi ancaman perihal keinginan pertanggungjawaban darinya.

Ya. Selepas malam panjang itu berakhir, hingga kini telah masuk pada malam kelima belas.. tak seharipun, kulalui malamku tanpa wajahnya. Kau tahu? Bahkan dalam mimpi yang terus mengangguku dalam dua minggu terakhir, suara berat pria itu; terdengar begitu menggaung nyaring, sampai-sampai disetiap dua dini hari, akupun terus terjaga tuk sekedar memeluk diri. Menyunggingkan senyum getir sebentar, sebelum akhirnya tungkaiku terayun menuruni anak tangga. Berjalan kearah dapur, sekadar memastikan apakah segelas susu hangat akan membawa tubuhku sedikit lebih tenang?

Malam ini pun, sama. Selepas kepulanganku dari Ceko, entah mengapa aku begitu enggan untuk mengisi flatku. Memilih tinggal bersama mama dan papa, yang rupanya seringkali pergi dan kembali ketika fajar telah menyongsong. Dan hal seperti itupun, kembali terulang dimalam ini. Ya. Mama papa, pergi entah kemana. Itupun, aku menyadarinya; setelah terbangun dari tidurku, lalu mengacak dapur.

Hingga samar-samar telah kudengar suara rintik hujan yang beradu dengan denting jam dinding, aku yang tengah merasai kesendirian, mendadak diinterupsi oleh suara bel pintu.

Satu kali, dua kali, tiga kali..

Jika itu mama dan papa, jelas mereka telah membuka pintu tanpa bantuanku. Akupun meneleng kepala sebentar, seraya menatap pada daun pintu. Mengeratkan gaun tidur berbahan satin yang kukenakan, sebelum dengan mantap langkahku lantas terayun maju. Namun tentu saja keberanianku kali ini telah berbekal satu sendok garpu, yang siap mengacak seisi perut; jika seseorang yang berdiri dihadapan pintu rumahku sekarang ini, ialah seorang pencuri, pemerkosa, atau pembunuh.

Meneguk ludah dengan berat sesaat sebelum kuayunkan daun pintu, dua detik setelahnya, senjata yang sempat kugenggam itupun terlepas jatuh; menghantam lantai. Menghasilkan denting nyaring, yang disusul dengan degub jantung abnormal dariku yang bersuara, "Kenapa basah kuyub?" kembali meneguk saliva seraya meremat sisi gaun, satu langkah mundurku pun seolah mengimbangi gerak pria yang sempat mengambil langkah mendekat. "Kenapa kau kemari? kapan kau pulang?"

Kim Seokjin dengan surai basahnya, tampak mengulas senyum tipis. Dengan masih menatapku yang gugup setengah mati, lantas ia sodorkan sekantung plastik kearahku seraya berkata, "Setelah dari bandara, aku langsung kemari. Aku membawakan oleh-oleh, untuk Jieun ku yang sedari dulu selalu menagih oleh-oleh; ketika aku pulang dari luar negeri."

Oh tidak. Saat ini bukan hal semacam oleh-oleh lah yang aku perhatikan, melainkan apa yang membawa pria ini kembali. Tentang ia yang begitu menatapku lamat, tanpa rasa canggung. Tentang ia yang tak henti menyematkan senyum tipis, meski tubuhnya tampak sedikit menggigil. Serta merta membawaku segera merampas kantung plastik yang ia tenteng. Membuka jalan, seolah mempersilahkan ia untuk melewatiku dengan mudah. Hal inilah, yang lantas membuat sepasang alisnya terangkat naik seraya memamerkan deretan giginya. Sialan, jatungku! tidak bisakah kau sedikit bekerjasama?!

"Dimana mama papa?" tanyanya memecah keheningan. Aku yang terus mengambil langkah mendekati pantry, hanya menghendik bahu sekilas. Menatap tubuh jangkung pria yang dengan berat hati kuinterupsi, "Pergi mandilah dikamar Jian eonnie. Oppa masih menyimpan handuk dan baju disana, bukan? aku akan membuatkan kopi."

"Ramyeon juga, ya?" pinta pria yang lantas kuberi tatap mematikan. "Aku lapar, Jieunnie. Selama perjalanan, perutku tak ku isi apapun."

Mendapati raut memelas dari ia yang tampak menghentakkan satu kaki, akupun seolah tak diberi opsi selain mengangguk. Membuat pria dewasa yang kulirik sempat berjingkat girang sebelum berlari kecil, lantas mendebumkan pintu kamar yang sempat ia tempati bersama Jian. Tak pelak membawaku mengulum tawa miring, serta berdecih pahit.

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang