lembar empatbelas

2.4K 447 76
                                    

JADI siapa yang patut disalahkan, dalam kasus ini? aku, yang tak tau diri karena mencoba menggoda iparku? atau takdir, yang menggariskanku sebagai pribadi tak egois? tunggu—toh dari keduanya, hanya aku satu-satunya tokoh yang tetap tersakiti, bukan?

Lalu bagaimana dengan, Seokjin oppa?

Tentu saja pemuda bak pangeran yang kini membalut tubuhnya dengan tuxedo, nampak berseri bahagia. Ia yang sedari tadi kuamati; sejak sepatu pantofelnya mengetuk lantai gedung dimana pernikahan mewah impian seluruh wanita dimuka bumi ini tengah terselenggara, lantas berakhir menyalami para tamu undangan yang turut melontarkan sapaan selamat dengan basa-basi.

Nampak mengacuhkanku yang sama sekali tak diliriknya, baik Jian maupun Seokjin oppa lantas melewatiku yang tengah duduk bersilang pada satu sudut ruangan yang memiliki meja penuh dengan vodka.

Mungkin saja keduanya mendiamkanku, karena sore tadi aku tak menghadiri prosesi pemberkatan. Memangnya siapa yang kuat melihat pria yang disukai berjalan dialtar, lalu mengikat janji suci dihadapan Tuhan?

"Sendirian?" mendengar suara bariton yang berhasil memecah keheninganku, akupun beringsut mencari sang sumber suara yang kembali bertanya, "Boleh aku duduk disini, menemanimu?" melihat siapa yang datang, tanpa pertimbangan lebih, akupun mengangguk mengiyakan—yang berujung pada pemuda dengan postur tinggi nan tegap itu; mulai mengambil posisi tempat duduknya. "Kurasa, baik kau dan aku—sekarang ini memiliki suasana hati yang selaras." kata pemuda itu lagi.

Menangkap sepasang iris yang menatapku lekat, aku yang hendak menjawab seluruh pertanyaan pemuda berdimple yang nyaris membiusku; mendadak dicegat oleh suara lain yang menginterupsi, "Jieun-ah? kau dipanggil mama."

Seokjin oppa memang selalu muncul diwaktu yang tak tepat.

Menatap sekilas kearah sang pemberi perintah, aku yang selanjutnya kembali menaruh pandang pada pemuda yang cukup lama tak kulihat, lantas berpesan, "Oppa tunggu disini dulu, ya? seperti katamu barusan, karena suasana hati kita selaras, alangkah baiknya jika kita minum bersama. Oh, Hoseok juga akan kemari, kok." namun tak sampai kudapati jawaban dari pemuda yang namanya masih kuingat 'Kim Namjooon', sebuah tarikan tak sopan telah membawa tubuhku untuk segera berdiri.

Kim Seokjin yang menyeret langkah dengan begitu terburu-buru, nyaris saja menciptakan hempasan penolakan dariku; namun urung sebab beberapa pasang mata yang kami lewati , kutangkap tengah menatap penuh tanya.

"Oppa, lepaskan." geramku lirih, namun kembali tak diindahkan oleh pemuda yang telah membawaku pada salah satu sudut ruang terpisah yang nampak sepi. "Dimana mama? katanya mama ingin bertemu?" tanyaku sedikit gagap, sebab sorot tajam pemuda yang masih belum melepas cekalannya pada satu pergelangan tanganku—terasa begitu dingin nan menakutkan.

"Kau tak memiliki gaun lain?" mendengar Seokjin oppa membuka suara dengan sebuah pertanyaan konyol, agaknya menggelitik seisi perutku yang seketika menggelakkan tawa sinting. Sembari bersandar pada permukaan dinding serta memainkan satu kaki yang high hells-nya mengetuk lantai dengan ringan, pandanganku pun lantas bergerak turun. Mulai meneliti alasan dibalik pertanyaan seorang Kim Seokjin, yang nyatanya masih begitu possesive, padaku.

"Apa yang salah dengan gaunku?" kataku sedikit mengangkat dagu, "Toh aku memiliki bahu, kaki jenjang, serta kulit yang indah untuk kupamerkan. Lekuk tubuhku, apalagi. Jadi sayang saja, jika kusia-siakan."

Mendengar jawaban asal dariku yang kini bersidekap angkuh, sontak saja daun telinga Seokjin oppa berubah merah; seolah tengah menahan amarah yang mulai merambat naik pada ubun-ubun, hingga kalimat imbuhan dariku—seketika membuatnya nampak begitu frustasi, tatkala aku berkata, "Tubuh istrimu tak kalah indah, kok. Fikirkan saja bagaimana cara membuatnya meleguh dibawah kuasamu."

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang