lembar empat

3.9K 573 157
                                    

BAGAIMANA rasanya terbakar, oleh kobaran api yang kau sulut sendiri? menyenangkan, atau memalukan? Oh tunggu, api yang baru saja ku maksudkan, tak memiliki arti yang sesungguhnya. Melainkan sikap, yang kapan pun dapat menjadi sebuah bumerang. Seperti sekarang ini, di mana seratus delapan puluh derajat—aku telah di kalahkan oleh pria yang malah berbalik, mengendalikan ku. Bagaimana ia membuat ku tersipu malu, hingga membuat ku berdebar; melalui lontaran asal, yang tak seharusnya muncul dari bibir ranum yang sempat menyapa bibir ku melalui pagutannya. Haruskah aku meminta pertanggung jawaban pada pria yang telah mencuri ciuman pertama ku?

Seakan tak kenal rasa bersalah, pria yang sesekali meledakan tawa dengan begitu konyolnya—lantas menilik ku, "Kau harus tau, kalau aku menyukai semua hal yang berawalan dengan huruf 'J'. Seperti jjajangmyeon, Jian, dan Jieun!" gurau Seokjin oppa, untuk kesekian kali—dan kesekian kalinya pula, raut datar ku kembali terpasang. Menghendikan bahu secara acuh, sebelum arah pandang ku lantas terbuang keluar bingkai jendela, "Apa itu, sama sekali tak lucu?" tanya pria yang satu tangannya bertengger di atas satu paha ku, dengan tanpa rasa bersalahnya.

Terkesiap kaget, mendadak ku pukul lengan Seokjin oppa, seraya beringsut sebal, "Fokuslah menyetir dan hentikan candaan gagal mu itu, oppa! Lagipula, kenapa seharian ini oppa gemar sekali melakukan skinship dengan ku? mencari kesempatan, atau bagaimana?" kembali menaruh tatap pada tepi aspal seraya memangku pelipis, pun pria yang kekehannya terdengar mengudara ringan—kembali mengacak surai, pada puncak kepala ku, hingga jemarinya turun untuk mencubit satu pipi ku dengan gemas. Tak pelak membuat ku lekas memberikan sorot nyalang, pada pria yang membalas melalui senyum simpul, "Karena kau menggemaskan, jadi rasanya—aku ingin selalu menyentuh mu," enteng Seokjin oppa, lantas kembali menaruh tatap lurus pada jalanan di depan sana, "Aku juga ingin berselingkuh dengan mu, jika kau mau—"

"Tidak," tanggap ku cepat, seraya bersidekap angkuh. Lantas menumpukan kedua paha ku, agar saling tertempel satu sama lain, "Meski oppa itu tipe ku, tapi aku ini tergolong cantik—dan yah.. bisa di bilang, ada banyak pria yang mengantri, agar bisa berkencan dengan ku. Dan lagi, memangnya gadis mana, yang bersedia di jadikan simpanan?" merotasikan iris sekilas, seraya membenarkan posisi punggung yang tengah bersandar, pun kembali ku imbuh, "Yah, sebenarnya banyak juga sih, yang di jadikan simpanan. Terkadang cinta memang bisa membutakan, keunde—aku ini tipe gadis yang masih bisa berfikir rasional, oppa. Jadi jangan samakan aku dengan gadis di luaran sana, oke?—Bersikap setia lah, pada Jian eonni,"

Sungguh, menyembunyikan rasa gugup itu tak semudah ketika kau membalikkan telapak tangan. Terlebih ketika aroma maskulin Seokjin oppa yang begitu memabukkan, juga lontaran asal yang terkesan 'dewasa'— seakan menyudutkan ku yang nyaris meloloskan kata 'ya' pada tawaran gila yang akan membuat ku menjadi seorang pendosa.

Hening sejenak, pun dehem yang Seokjin oppa ciptakan—lantas membuat ku turut mengikuti arah pandangnya. Serta merta menepikan mobil sport yang kami tumpangi, untuk memasuki pelataran kedai kopi, "Secangkir caffee latte, tak buruk bukan? ini juga tak begitu jauh dari kantor ku, jadi kita bisa kembali dengan cepat." Interupsi pria yang kembali mengulum senyum simpul, sesaat sebelum punggungnya bergerak maju, guna membantu melepaskan sabuk pengaman yang melilit tubuh ku, bersama jarak yang kelewat tipis.

Sejurus saling melempar tatap, pun wajah ku lekas berpaling ke lain arah, guna membuang jauh debar menggila yang nyaris membuat ku hilang kendali, "Berhenti membuat ku menjadi salah paham, oppa. Jika kau bersikap seperti ini, aku akan mengira—oppa juga menyukai ku," meninggalkan pria yang hanya terpaku, selepas mendebumkan daun pintu—pun Seokjin oppa turut mengejar, untuk mensejajari langkah ku, "Perkiraan mu benar, adik ipar—aku memang menyukai mu," gurau pria yang lantas mendaratkan lengannya, di atas satu bahu ku, hingga mengimbuh, "Kau itu selalu memiliki cara, untuk membuat hati oppa berdebar, Jieun-ah. Jadi, bagaimana? Bersedia menikah dengan ku?"

Bersiap melayangkan satu pukulan telak, yang telah ku perkirakan akan mendarat tepat pada perut Seokjin oppa—pun hal tersebut lantas terjeda, sebab pria bersurai legam yang memiliki tubuh lebih tinggi dari ku—terlebih dulu mendahului, "Sekali saja kau memberikan pukulan untuk oppa—malam nanti, oppa akan datang ke rumah, dan mengatakan pada ibu mu; jika aku bersungguh-sungguh, harus menikahi mu—karena kita telah tidur bersama,"

Mengulum bibir sebagai perantara untuk meredam emosi, lekas ku tarik dua sudut bibir, guna menampilkan tawa masam, seraya menepuk perlahan bahu Seokjin oppa, "Lalu, aku juga akan katakan pada eomma—kalau sebenarnya, oppa lah yang menyerang ku terlebih dulu. Jadi sebelum kita akan di nikahkan, oppa akan merasakan dinginnya jeruji besi selama bertahun-tahun, atas tuduhan tindak asusila." Tertawa terbahak-bahak sebagai respon pertama, pun Seokjin oppa lantas menepuk angin secara berulang. Mengusap sudut matanya yang berair karena menahan tawa, ia pun membalas, "Sayangnya, malam sebelum aku di jebloskan dalam jeruji besi—aku akan terlebih dulu memuaskan hasrat ku, pada tubuh mu. Menyetubuhi adik ipar cantik ku ini dengan puas, hingga hamil, kalau bisa. Jadi setelah keluar dari jeruji besi, aku tetap akan menjadi suami dan ayah—karena kau telah mengandung anak ku," lantang Seokjin oppa, tanpa tau malu.

Seakan tak perdulikan beberapa pasang mata yang kini menatap aneh, pun pria yang tawanya kembali meledak selepas mendapati raut kikuk ku, kembali mengimbuh, "Jadi pada akhirnya, aku lah yang akan menjadi penjahat paling beruntung, bukan?" memegangi perut karena ledakan tawanya, tubuh Seokjin oppa yang kini sedikit membungkuk—lantas menciptakan sebuah ide brilian, di mana sepersekon selanjutnya tawa pria itu dapat ku bungkam, hingga berubah menjadi jerit kesakitan tatkala ceruk lehernya ku gigit kuat-kuat. Lekas meninggalkannya yang masih mengaduh lirih, bahkan sesekali terdengar mengumpat, "Yak, Lee Jieun, berhenti! Sialan, ini pasti akan berbekas—yak, beraninya kau meninggalkan kissmark melalui gigitan, seperti barusan eoh? sebenarnya kau ini, seorang gadis—atau seekor anjing 'sih?"

Mendapati derap langkah yang mulai mengejar ku dengan begitu terburu, lantas ku ciptakan sebuah langkah besar hingga menyerupai lari kecil, dengan sesekali menatap ke arah belakang—untuk memastikan, jika pria yang terlihat akan menangkap mangsanya, cukup tertinggal jauh di belakang sana.

Sayang, di detik selanjutnya, tepat ketika lari terbirit yang tengah ku ciptakan berada dalam kecepatan penuh—mendadak sebuah tubuh melintas di depan sana. Tak pelak membuat ku menubruk lengan pria yang tengah memainkan ponselnya, hingga tubuh kami jatuh tersungkur satu sama lain; di atas tanah, bersama kuncian tatap kami yang saling beradu.

"Maaf tak memerhatikan jalan. Apa kau baik-baik saja, nona?" titah pria yang lantas mengulurkan satu tangan, dengan sorot hangat yang satu detik pun tak beralih dari pandang ku. Ia, pria yang memiliki senyum menawan—dengan raut menenangkan. []

***

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang