SITUASI canggung disiang bolong seperti ini, bermula ketika gadis rapih yang terlihat begitu anggun—mulai menyilangkan kaki, seraya melipat kedua tangan diatas dada. Bersandar pada punggung sofa bak puteri konglomerat dengan aura elegan yang menguar kuat, hingga dehem lirihnya langsung saja disambut oleh pria pemikat yang berseru, "Kami ini rekan kerja, dan kebetulan—telah membuat janji untuk bertemu, disini." seraya meyeruput satu cangkir berisi americanno dengan tenang, Kim Namjoon—yang suara beratnya mampu mengalihkan perhatianku di detik pertama pandangan kami saling bertemu, nampak menampilkan senyum paling menawan.
Membuatku tak dapat berkedip selama beberapa detik; kala memeta struktur tegas pada garis wajah Kim Namjoon, mendadak kebahagiaan kecilku itu dihancurkan oleh satu suara lain yang berseru, "Benarkah? Tapi, kenapa tunanganku, tak memberitau perihal pertemuan ini? membuatku berfikiran buruk saja." bersama raut tak suka, Kim Seokjin yang herannya—memilih mengambil tempat duduk tepat disisiku, dibandingkan mengisi kekosongan sofa yang berada disamping Jian—lantas melempar tatap pada gadis yang kutangkap tengah merotasikan iris, bahkan lebih memilih untuk membuang arah pandangnya pada Kim Namjoon; yang mendadak menanggapi, "Apa urusan bisnis, juga harus nona Jian laporkan kepadamu, Seokjin-ssi? kau terdengar posesif sekali."
Tepat. Rasakan. Mati konyol saja kau, Seokjin oppa!
Terkikik geli kala memerhatikan tingkah gelagap Seokjin oppa yang sedikit mati kutu oleh cecaran Kim Namjoon, mendadak sepasang tanganku mengudara; guna menciptakan tepuk riuh bak orang sinting, begitu bersukacita atas kekalahan pria yang langsung saja mencubit pipiku cukup kencang; seraya mengancam, "Setelah ini, kau akan habis olehku, adik ipar."
Memilin satu pipiku tanpa ampun, juga mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap curiga—segera ku tepis tangan Seokjin oppa, lantas berdehem lirih bersama satu tanganku yang terus mengusap bekas kemerahan ditempat yang sama, sebelum satu suara menyela, "Hubungan kalian sedikit membingungkan, ya?" sontak membuatku memberikan sorot tajam pada sang sumber suara yang kembali melanjutkan, "Bahkan aku masih ingat betul, jika calon iparmu mengatakan kau adalah kekasihnya. Tapi disini, ia malah mengatakan kalau kakak perempuanmu adalah tunangannya," tertawa kecil ditengah tatapan yang sarat akan makna merendahkan, pun pria menyebalkan yang sedari tadi kehadirannya tak sedikitpun kuanggap—lantas menuduh, "Lee Jian, bisa saja; mencurigai kalian. Jadi janganlah terlalu kentara."
Mati saja kau, Lee Jieun! Jung Hoseok, sungguh berniat untuk membunuhmu didepan Jian eonni.
Pria bersurai legam yang terus saja tertawa sinting, juga sesekali menyisir surainya kebelakang; serta merta membuatku mendecakkan lidah, tatkala kudapati ia yang selanjutnya malah menggerlingkan mata kearahku—seakan begitu sengaja, untuk menggoda aku yang tak berkutik dibuatnya.
Sebenarnya pria asing itu, kenapa?
"Tutup mulutmu, Hoseok-ah," tanggap Jian eonni cepat, seraya menyimpan surainya pada daun telinga. Lantas menatap bergantian kearahku juga Seokjin oppa, sebelum kembali ia melanjutkan, "Kekhawatiranmu itu sungguh tak berdasar. Lagipula dalam waktu dekat, aku dan Seokjin akan menggelar pernikahan. Kau juga mengetahui itu kan, Jieunnie?" katanya, santai—serta merta menciptakan tawa canggung sedikit masam, dariku.
Anehnya—bukankah Jian eonni baru saja menyebutkan namaku? Tapi, mengapa arah pandangnya; malah menyorot pada—Kim Namjoon?
Menanggapi pernyataan Jian eonni dengan anggukan kecil, Seokjin oppa yang selanjutnya mulai bangkit beserta pergerakan untuk menggiringku agar mengikutnya, lantas menginterupsi, "Kalian lanjutkan saja pertemuan ini. Aku harus kembali kekantor," mencondongkan punggung untuk mengecup pipi Jian eonni sekilas, pun Seokjin oppa kembali mengimbuh, "Karena aku kesini bersama Lee Jieun, maka ia juga harus kembali bersamaku."
Menyisakanku yang hanya mengerjabkan kelopak manik; kala satu pergelangan tanganku telah diraih Seokjin oppa tanpa segan, pun hal itu malah membuatku enggan mengikuti langkah seenak hatinya. Serta merta menahan diri, hingga memungkas, "Oppa duluan saja. Aku masih ingin disini, untuk menemai Jian eonni." kilahku, sengaja. Tak pelak menciptakan gernyitan pada dahi Seokjin oppa, ditengah tatap mengintimidasi—seakan menjelaskan jika ia sungguh tak menyukai pernyataanku barusan, "Aku—masih lapar." gagapku, berusaha mencari alasan lain, "Jadi aku ingin memesan sesuatu untuk mengisi perutku, terlebih dulu."
Seolah mengerti jika itu hanyalah bualan, kembali Seokjin oppa meraih pergelangan tanganku. Hendak menyeret untuk kali kedua, namun terjeda; oleh pria lain yang berseru, "Untuk menghindari kecurigaan, akan lebih baik jika kau—pulang bersamaku saja, nona ceroboh. Kita juga bisa mampir terlebih dulu, ke appartementku." menggaruk pelipis ditengah seringai tipisnya, pun kembali Hoseok mengimbuh, "Aku memiliki banyak ramen, untuk dimasak."
Ramen? Apa ia baru saja menawari ramen, untuk tamu yang baru dikenalnya?
"Akan lebih enak, jika kita memakan ramen dengan kimchi. Apa kau juga memiliknya?" putusku. Tak pelak menciptakan airmuka tercengang yang dipasang secara serentak oleh seluruh kepala, tak terkecuali Seokjin oppa yang dengan tak sabaran mulai mengambil langkah, bersama cekalannya pada pergelangan tanganku.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan mengijinkan adik iparku makan ramen bersama pria yang baru saja dikenalnya dalam hitungan jam." menaikkan satu sudut bibir dengan kesal, Seokjin oppa yang cengkramannya terasa tak main-main, hingga membuat bekasnya terasa kebas—lantas menyeretku untuk berlalu begitu saja. Meninggalkan gemelut tak enak hati, sebab Jian eonni; tak sepersekonpun mengalihkan tatapnya—padaku, juga pada pria yang terus menyeretku hingga mencapai pelataran.
Seokjin oppa sedikit tak waras, rupanya. Dimana untuk kali pertama—aku menyaksikan ia yang sepanjang hari ini, terus mengabaikan Jian eonni.
"Oppa, jangan seperti ini!" menghempaskan cekalannya, aku yang lantas menyisir surai kebelakang dengan frustasi—langsung saja mengambil langkah mundur, yang turut diikuti tungkai Seokjin oppa yang meringsak maju.
"Aku tidak suka dengan Hoseok yang terang-terangan ingin menggodamu, juga tidak suka bagaimana caramu menatap Kim Namjoon itu." ungkap Seokjin oppa, sontak membuatku berdesis tak percaya—sebelum satu pukulan, mendarat halus; tepat disisi kepala pria yang sempat mengaduh lirih, seraya mengusap bekas sakit yang tak seberapa itu.
"Biar kuberitau padamu terlebih dulu, oppa. Alasan mengapa aku ingin duduk didalam itu, karena Namjoon oppa. Augh, dia benar-benar tipeku—jadi aku ingin mendekatkan diri padanya." jujurku, tanpa menciptakan kebohongan sedikitpun, "Dan lagi, menggoda apanya?! Hoseok itu hanya menawari aku makanan. Tidak seperti oppa, yang membiarkanku kelaparan hingga nyaris tewas." kataku lagi.
Tak ada jawaban apapun, dari pria yang kini merubah airmukanya menjadi datar, menguarkan aura dingin, juga sorot tajam yang nyaris membuatku tersedak saliva; sanking canggungnya. Ia yang terus menatap manik nyalang, hingga kembali aku dikagetkan oleh lima jemari yang kini telah mengisi sela lima jemariku cukup erat.
"Jangan menyukai Kim Namjoon," lirih Seokjin oppa yang nada suaranya berangsur menghangat, bersama tatap sendu kala ia merundukkan wajah, "Aku tidak mau, kau juga berpaling pada pria itu, seperti Jian." ungkapnya lagi.
Lalu, tatkala bibirku tertarik; hendak melontarkan pertanyaan pada Seokjin oppa—kembali pria itu menyela;
"Tidak masalah jika Jian mengidamkan pria lain. Toh, aku juga sudah mulai menyukaimu, adik ipar." []
***

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...