lembar delapan

3.2K 501 56
                                    

BARANGKALI kesalahpahaman pada situasi canggung ini, bermula ketika sekuat tenaga kudorong dada bidang pria yang kini terengah, menatapku lapar. Menyempatkan diri untuk melirik sekilas pada bibir plum yang nampak kian merekah selepas pagutan gila beberapa waktu lalu kuhentikan secara sepihak, lantas menyisakan rona merah padam diatas kedua permukaan pipiku—yang kini begitu susah payah kusembunyikan.

Sementara pria yang masih betah memenjarakan tubuhku tak henti memandangiku yang berada dibawahnya, rasa canggung itupun kian kentara. Tak pelak menjadikanku yang hendak berusaha melarikan diri, namun bertolak belakang dengan Seokjin oppa yang menahan bahuku; agar tetap diam, dan kembali terkungkung dibawah suhu hangat yang dihantarkan oleh tubuhnya.

"Jangan lari ketika aku tengah menatapmu, adik ipar." memperingati sembari menilik tepat dihadapan wajahku yang kini terbuang pada samping kiri, Seokjin oppa pun kembali bersikap lancang; manakala tanpa kuperkirakan telah berhasil mencuri satu kecupan diatas permukaan bibir lembabku. Serta merta menciptakan pekik tak percaya serta rasa frustasi; akupun menggeram, lalu berkata, "Menyingkirlah, oppa! jangan melecehkanku lebih jauh—atau kau akan kulaporkan pada kekasihku."

Lontaran pernyataanku yang mungkin hanya dianggap Seokjin oppa sebagai bualan, tak lantas menyingkirkan tubuh pria yang sekilas mengernyitkan dahi. Malah berakhir memasang raut tenang, pun ia membalas melalui satu kecupan panjang pada dahiku—hingga menggesekan jembatan hidungnya pada puncak hidungku dengan menggemaskan. Menyisakan gundahku yang kini kian terasa menumpuk, sebab dari beberapa sudut pandang—akulah pemeran utama, yang tengah bermain api.

"Kekasih apa? Aku tau betul jika kau—"

"Aku baru saja memakan ramyeon bersama si bedebah Jung Hoseok, dan menerima permohonannya yang menginginkanku untuk menjadi kekasihnya." potongku, begitu lugas—lalu kembali mengimbuh "Oppa bisa lihat sendiri. Bahkan aku telah mengenakan bajunya, dan—"

"Kau sungguh melakukan itu dengannya?" Seokjin oppa yang turut menyela pembicaraanku bersama raut dingin, pun hanya kutanggapi santai; meski sejujurnya lontaran pertanyaanya masih belum dapat kucerna dengan baik, "Kutanya sekali lagi—apa kau benar-benar melakukannya, Lee Jieun?!" ulang pria yang untuk kali pertama kudengar pekik jengkel, sebab biasanya mulut iparku hanya mengalunkan nada rendah dan menenangkan.

Kamipun terdiam, bersama. Seolah tengah menyelami isi pemikiran masing-masing, hingga tak lama bobot tubuh yang sedari tadi memenjarakanku—perlahan beranjak. Menyisakanku yang masih bungkam, sebab sepatah katapun belum sempat keluar dariku—hingga punggung Seokjin oppa telah menjauh, terlihat menghampiri ambang pintu yang daunnya lantas ia banting cukup kasar.

Oh, tidak. Rupanya pria itu tak berjalan pergi, meninggalkanku. Ia hanya melompat turun dari ranjang, untuk memastikan jika daun pintu yang kini tengah ia sandari berhasil terkunci rapat, "Kutanya sekali lagi. Apa kau sungguh memakan ramyeon ditempat pria asing itu?" masih memastikan hal sepele yang langsung kutanggapi dengan anggukan kepala sebagai pembenaran, decakan lidah serta rotasi iris pun langsung saja diperlihatkan oleh pemuda yang kini mulai menyimpan tangan pada sakunya; sembari berjalan mendekat.

"Memang—apa yang salah dari itu? toh aku sudah dewasa—jadi aku bebas untuk bergaul dengan siapapun, termasuk—" bersama melirihnya suara ditengah kalimat yang mulanya cukup menggebu, retinaku pun bergerak pada sisi ujung; selepas kudapati Seokjin oppa mulai menempatkan diri pada tepian ranjang. Memaku tubuh persis dihadapanku yang melipat kaki pada permukaan ranjang, hingga lagi-lagi aku dikejutkan oleh kikisan jarak yang kelewat tipis darinya—yang seketika menciptakan dorongan mundur dari wajahku, namun secepat kilat tertahan oleh sebuah tarikan kasar yang berasal dari satu lenganku yang mendadak dicengkram oleh Seokjin oppa tanpa kumengerti.

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang