SEDIKIT ku ciptakan pergerakan kecil, guna membenamkan sisi wajah pada permukaan empuk berbungkus sutera—hingga membuat irisku bertahan untuk memejam. Memilih mengabaikan silau sang mentari yang mungkin telah membumbung dengan tingginya.
Kedua sudut bibirku, lekas tertarik. Selepas mendapati sosok tampan yang diam diam ku-gilai, telah mendatangi alam mimpiku bersama aroma maskulin yang menguar kelewat kuat. Menciptakan pergerakan bibir yang lantas merapal harapan, agar tak ada sedikitpun suara gaduh; yang akan membuatku terjaga—entah itu suara alarm, panggilan dari ponselku, atau teriakan eomma yang menyuruhku lekas terjaga hanya untuk meminum segelas susu panas buatannya.
Ah, bicara mengenai gangguan di pagi hari, ku rasa dalam hitungan ke sepuluh itu sungguh akan terjadi. Manakala indera penciumanku telah menangkap aroma seduhan susu yang menyeruak harum, di sekitaran ruang kamar. Menyisakan satuan alis, dengan irisku masih bertahan untuk mengatup. Hingga dalam hitungan kelima, kelopak-ku lekas terbuka. Seketika terperanjat, selepas mendapati pemandangan kelewat indah namun mengagetkan secara bersamaan. Pun jantungku nyaris merosot jauh dari tempatnya, setelah mendapati Seokjin oppa dengan setelan kemeja putih tengah memaku diri di sisi ranjang. Membuat punggung tanganku langsung saja terangkat, untuk mengusap sepasang manik sebelum bersua, "Kenapa Oppa ada di sini?" tanyaku, lantas menarik punggung untuk bersandar pada kepala ranjang.
Sejemang tak mendapat jawaban darinya, netraku lekas berpendar ke penjuru arah. Menyadari beberapa hal ganjal di pagi hari, lantas menerka, "Apa semalam aku mabuk berat?"
Pun pria bertubuh jangkung itu hanya mengangguk, lantas mengikis jarak; bersama uluran satu tangan, dan yang lain tengah dijadikan tumpuan untuk bobot tubuhnya. Menyisakan irisku yang langsung saja membola, hingga merasa gugup; sebab menerka jika si tampan itu akan memberikan sebuah pelukan untukku. Toh, tak ada yang melihat juga bukan? Disini hanya ada kami berdua saja, dan ini adalah kesempatan.
Sayangnya, kenyataan terkadang tak sesuai harapan. Membuatku berdesis singkat, tatkala mendapati Seokjin oppa yang kini menyodorkan gelas berisi susu hangat yang baru saja ia raih dari atas nakas yang berada tepat di sisi kananku, "Minumlah, agar tubuhmu terasa lebih baik. Aku juga telah menyiapkan sarapan, dan dalam lima belas menit aku harus pergi bekerja." ujar Seokjin oppa, selepas gelas yang disodorkan kini telah berpindah tangan padaku. Tanpa berniat menimpali kalimatnya terlebih dulu, lekas ku teguk susu putih yang terasa hangat itu, dalam sekali tengak. Menyisakan tawa tipis Seokjin oppa. Hingga berujar, "Kau ini dehidrasi atau bagaimana? Rakus sekali."
Punggung tanganku terangkat, guna menyeka permukaan bibir lembabku, sebelum ku pilih untuk menghabiskan waktu selama sepuluh detik; guna mengamati pria yang turut terpenjara oleh manikku, dengan denting arloji sebagai alunannya. "OMO!" pekikku, lekas menyembunyikan wajah pada kedua tapak tangan dengan kesepuluh jemari kurus, serta kuku bercat merah maroon, "Apa semalam aku berusaha menggoda mu Oppa? Aigoo, jangan katakan jika kita telah menghabiskan malam untuk.."
"Jangan gila. Tentu saja tidak." Potong Seokjin oppa cepat, berusaha berkilah. Dahiku mengerut, tatkala mendapati wajah tampan itu terlihat memerah, bersama raut canggung yang tak biasa. Bahkan netraku sempat menangkap adam apel Seokjin oppa yang bergerak secara berulang; tengah menelan salivanya. Ia gugup, aku tau.
Lekas kucondongkan tubuhku. kian mengikis jarak, yang langsung membuat pergerakan refleks dari pria yang kini memundurkan punggungnya untuk menghindariku. Augh. Sebegitu menakutkankah, diriku dimata iparku ini?
Tawa miringku muncul, lantas berniat untuk melontarkan sedikit bualan asal selepas retinaku mendapati satu fakta; mengenai pakaian yang melekat pada tubuhku, memang berbeda dari kali terakhir yang ku kenakan, "Lalu, siapa yang mengganti pakaianku? Jika itu oppa, berarti kau telah melihat sebagian tubuhku. Benar begitu?"
Irisku melebar; bersama raut cemas bercampur kekehan, tatkala mendapati respon pria itu yang terbatuk; karena tersedak oleh ludahnya sendiri. Satu kepalan tangannya bahkan tergerak, memukul bagian dadanya secara bar bar; seakan berusaha meredakan efeknya yang kelewat luar biasa sampai sampai kedua pipinya berubah merah padam, "Bersihkan dirimu dan makanlah, Jieun-ah. Aku pergi!" Seokjin oppa kembali berkilah; seperti biasa. Lekas mengambil langkah secara terburu, hingga mendebumkan daun pintu cukup kencang; menyisakan irisku yang berotasi malas. Tunggu. Biarkan aku sedikit mengingat, kejadian apa yang telah kulewati; malam tadi, sampai sampai seorang gadis serampangan yang sedikit gila sepertiku telah terdampar pada flat Seokjin oppa.
Tungkaiku lekas menapaki ubin. Mulai membuka satu persatu kancing kemeja yang kukenakan, seraya mengambil langkah untuk memasuki ruang dingin yang sejujurnya tak begitu ku sukai. Selepas menanggalkan seluruhnya, guyuran air shower dalam beberapa detik; perlahan membawa kepingan ingatanku, layaknya sebuah puzzle yang harus ku satukan.
Kurasa, semuanya bermula dari; keinginanku untuk mendatangi bar woodstock, malam tadi. Lantas memesan beberapa botol wine, hingga membuat kewarasanku dihilangkan oleh kadar alkoholnya. Bahkan decihan sebalku lolos, setelah mendapati seokjin oppa yang merampas gelas wine milikku seraya memperingatkan "Berhenti Jieun-ah. Kau sudah mabuk. Kita pulang saja."
Sayangnya dentum musik, seakan menggodaku untuk turut bergabung dalam kerumunan manusia yang telah bergerak meliukan tubuhnya sesuai irama; hingga tawa sintingku seakan mengiringi langkah terseok yang kuambil, sebelum tubuhku benar benar limbung. Ah tidak. Meski sempat terhuyung, nyatanya aku masih memiliki seperempat dari kesadaranku; yang mendapati gerak cekatan Seokjin oppa ketika meraih tubuhku, "Benar kan, kau memang selalu merepotkanku Jieun-ah. Aigoo bagaimana aku menjelaskan pada ibumu." titahnya, lekas menaikkan tubuhku pada punggung tegapnya. Tawaku menguar. Menyatu bersama derap langkah Seokjin oppa, denganku yang merancau tak jelas.
Kalungan lenganku kian menguat, lekas memangku wajah pada bahu calon iparku. Sebelum bersua; "Kenapa juga oppa harus menjadi kekasih Jian? Memangnya ia lebih cantik dariku?" Racauku, yang jelas tak ditanggapi olehnya; sebab memilih berfokus pada pergerakannya yang berhasil menjatuhkan tubuhku pada permukaan jok mobil, "Haruskah sedikit ku rubah sikapku, agar menyerupai Jian yang perfeksionis itu? Ahh, tidak. Tidak. Nanti tak ada pembeda di antara kita" imbuhku lagi.
Netraku memicing, setelah mendapati pergerakan Seokjin oppa yang terhenti; untuk menatapku sejenak. Bahkan kemudi yang sempat akan dinyalakan, kini teranggur begitu saja, "Tak perlu. Bahkan sikap serampanganmu lebih menarik, dibanding sikap perfeksionis kakakmu itu."
Aku terkekeh, mendapati suara bariton itu menelisik runguku. Bahkan yang lebih konyolnya lagi, jarak diantara kami yang mulai terkikis; oleh pergerakan Seokjin oppa yang tengah mensejajarkan wajahnya, "Aku bahkan telah merencanakan sebuah pernikahaan untuk Jian. Tapi kau selalu mengangguku dengan rengekan layaknya bayi yang harus kujaga dalam dua puluh empat jam. Atau, seharusnya aku menikahimu saja?" Katanya.
Kelopakku berkedip secara berulang. Sebelum kesadaranku berakhir pada detik itu juga, dan selanjutnya; terbangun didalam flat calon iparku, yang kelewat tampan itu. Aku mendesah, begitu frustasi; ketika ingatanku hanya mampu menangkap sebagian kecil kepingannya saja. Bahkan rasa penasaranku kian memuncak, ketika atensiku tersita oleh pantulan tubuhku pada permukaan kaca.
"Apa sisa mabukku masih ada? Bukankah, ini kissmark? tunggu, tapi kissmark dari siapa?" []
***

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...