SIAPA sangka pengalihan perhatian melalui jari telunjukku yang mengarah pada satu lukisan disisi dinding, begitu mampu untuk menghentikan tangisan seorang bocah yang sontak menatap saksama pada apa yang baru kutunjuk, sembari berkata, "Oh, disini ada gambar mobil, sayang. Lihat, lihat!" melirik kearahku melalui dua bola mata bulatnya, sang bayi yang masih belum kuketahui namanya pun mulai memamerkan satu dua gigi kecil yang tampak baru saja tumbuh dalam hitungan hari.
"Ya, benar. Tertawa seperti itu," gumamku, lantas dengan begitu semangatnya, kembali berkata, "Apa ya, warna mobilnya? Oh..oh, benar. Warnanya ungu!"
"Bukan ungu." sela seseorang. "Nama warnanya itu, violet. Keduanya, jelas berbeda." imbuhnya, mensejajariku. "Yah, walaupun kerap dianggap sama, namun violet nampak lebih kebiruan dengan nuansa yang gelap. Juga, itu bukan mobil. Tapi, bus."
Oh, pemuda itu mulai lagi.
Sekilas merotasikan iris dengan malas sembari mendesis perlahan, serta merta kudorong wajahku untuk lebih mendekat kearah pemuda yang kutanya, "Maaf, tuan asing. Apa kita saling mengenal? rasanya, saya baru saja melihatmu dan—"
"Dan sekarang kau tengah menggendong bayiku. Jika tak saling mengenal, apa kau itu salah satu sindikat penculik bayi?" potong Kim Seokjin, bersama uluran kedua tangan yang hendak meraih tubuh bocah gempal yang seketika memasang raut enggan, hingga kembali pria itu berkata, "Kembali ke keranjangmu, sayang. Papa harus segera kembali, sebelum mama mu sampai ke rumah."
Oh, rupanya si kecil ini, benar-benar bayi mereka.
Apa, papa dan mama juga sengaja untuk menyembunyikan hal ini?
Keterlaluan.
"Bagaimana kabar Jian? apa selama dua tahun terakhir, kalian pindah kemari?" tanyaku, yang hanya ditanggapi tatap dingin dari ia yang tak mengindahkan.
Memilih memberi fokus pada uluran tangan yang masih terus berusaha untuk merebut tubuh bocah yang malah kian mengeratkan kalungan lengannya pada tengkukku, sembari menelungkup juga terus mengusak diatas dada, Kim Seokjin pun nampak mulai memasang raut frustasi.
"Daeho-ya?"
Mendengar suara berat nan serak dari pemuda yang kutangkap tengah menyingsingkan lengan dari kaos panjangnya, pun mendadak aku dibuat salah tingkah; atas pemandangan apa yang baru saja kutangkap.
Sialan. Betapa menggoda, vein lengan Seokjin oppa.
Dan lagi, mengapa fantasi liarku, kembali datang; tidak pada tempatnya?
Hingga wajah terbuangku sontak memasang raut keterkejutan; manakala kurasakan tanganku sempat bersinggungan dengan kulit pemuda yang turut menampilkan beberapa kedipan, selanjutnya ia pun berhasil merampas tubuh bocah kecil yang sontak menjerit histeris.
"Mamaaa!" tangis, bocah gempal; bersama sepasang tangan kaku, seolah mengharapkan pelukan dariku, yang kembali memaku diri ditempat.
Tak pedulikan tangis histeris yang sontak membuat kami menjadi pusat perhatian, pemuda berahang tegas itupun bermonolog, "Ssst, tenanglah sayang. Papa akan mengantarmu ke mama Jian, ya?"
Oh benar. Jian.
Setidaknya aku harus melihatnya, sekali.
"Oppa, aku ikut." selaku, menjeda langkah pemuda yang hanya menaikkan sepasang alisnya. "Kita kan keluarga." kataku sembari memiringkan kepala, lalu kembali mengimbuh, "Aku juga ingin melihat Jian. Kemudian tau dimana rumah kalian, juga ingin bermain dengan—" mengerutkan dahi sembari menatap bayi mungil yang turut menatapku, akupun melanjutkan, "Bermain dengan Dae ho! benar kan, namamu Daeho? Kim—Daeho? Wah, lucu sekali. Kamu tampan. Sungguh tidak mirip dengan papamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
Genel Kurgu[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...