SEIRING cengkraman dari lima jemari yang bertengger pada pinggangku mulai mengerat, bersama gigitan bibir guna mengalihkan rasa sakit, selanjutnya akupun tetap saja berakhir menjerit. Memekakan rungu dari pemuda, yang setelahnya lantas begitu cekatan, dalam membungkam mulutku dengan bibir ranumnya. Dan entah itu ciuman yang keberapa kali semenjak pertemuan kita hari ini, namun kufikir; Seokjin oppa, memang telah berubah menjadi seorang maniak yang kelewat agresif dalam hal kontak fisik.
Ya, sejauh ini, itulah yang kurasa.
Pun pada situasi seperti ini; kutebak, ia paham benar perihal aku yang sedari awal tampak memasang raut menyesal; sebab telah memberi akses penuh padanya, untuk bisa menjamah tubuhku, lebih jauh. Tentunya, lebih dari hanya saling bertukar ciuman atau sentuh-menyentuh saja.
Alasanya, selain perasaan rindu yang berkecamuk sampai mengurangi akal sehat, dorongan libido tak biasa inilah; yang lantas membawaku takluk, juga patuh. Sepatuh budak, pada tuannya.
Lalu Seokjin oppa, yang mulanya mengaku tak dapat bercinta dengan Jian karena suatu alasan; kini, malah terasa ahli dalam beberapa hal, yang sebelumnya sempat menjadi rasa penasaran terbesarku.
Dan kini, penasaranku terdahulu; telah terjawab, sudah.
Selain debaran menggila dari dentum jantung yang lantas mengucurkan peluh; antara cemas, menyesal, juga takut, pada situasi kali ini; pun turut menyimpan kenikmatan gila, yang rupanya menjadi candu untuk sepasang pria dan wanita dewasa.
Ya. Tubuh kami menyatu dalam diam;
Saling bertukar tatap seolah mencari penjelasaan, namun kami tetap berakhir bungkam;
Membiarkan peluh terkucur, ditengah pergerakan yang terus menghujam.
Ada aroma tak biasa, yang memenuhi seisi ruang, sampai-sampai menyengat indera penciumku. Menjijikan, namun tercium khas.
Lalu kami yang masih bergerak tak bertempo dibawah sinar lampu yang terangnya nyaris menyakiti mata, seolah-olah begitu sengaja untuk merobohkan ranjang yang sudah lima belas menit lamanya; bergoyang, sampai membunyikan suara, bak ranjang yang sudah reot.
Seringkali Seokjin oppa terdengar memuji kecantikanku, yang kutebak hanya bualan semata; sebab airmukaku sudah tak berbentuk lagi, semenjak kami sama-sama menanggalkan busana. Terlebih, ekspresi yang kutampilkan; tepat ketika Seokjin oppa mulai berusaha menerobos sesuatu dibawah sana; dan rupanya menciptakan rasa sakit yang luar biasa.
Nyaris sekarat, mulanya. Namun nikmat, selepasnya. Ah, kufikir; aku sudah gila.
Ditengah pergerakan yang tak henti-hentinya, akupun mengambil napas dalam. "Oppa, berbohong." tuduhku, masih terengah. "Diawal, oppa mengaku tak bisa bercinta dengan seorang wanita, tapi sekarang, kau malah melakukanya; padaku?"
Sang lawan bicaraku tertawa ringan, menanggapi. Sembari memelankan ritme pergerakan juga satu tangan yang terangkat untuk membelai puncak kepalaku, iapun berkata, "Selain Jian, aku juga pernah beberapa kali; mencoba bercinta dengan gadis yang berbeda-beda, namun secara spontan, tubuhku selalu berakhir menolak. Kufikir aku memiliki gangguan," menjeda guna mengecup bibirku sekilas, ia pun melanjutkan, "Tapi, rupanya, penolakan itu muncul; karena alam bawah sadarku, hanya menginginkan kau, Jieunnie. Maka, aku tak dapat bercinta, selain denganmu."
Oh, sial. Aku benar-benar melambung, sekarang.
Tersipu malu, lantas kubuang wajahku pada sisi lain. Tengah berusaha meredam degub abnormal, yang lagi-lagi gagal selepas pemuda diatas tubuhku; kembali menggerakan diri, secara gila-gilaan. "Aku mencintaimu," bisiknya. "Amat sangat, mencintaimu." ulang Seokjin oppa lagi, hingga berakhir dengan signal akan mencapai puncak, dari penyatuan tubuh kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ON GOING]
General Fiction[M] Setidaknya, aku membutuhkan beberapa menit dalam sehari; untuk bersiteru dengan pria yang kata Lee Jian, akan segera menjadi iparku. Ia si jenaka Kim Seokjin. Pria yang kerap menunjukan sisi hangatnya, hingga membuat ku sesekali merasa iri, lant...