lembar sembilanbelas

2.3K 408 69
                                    

SEPEMAHAMAN ku, manusia itu benar berakal. Lalu kami terbagi menjadi dua golongan, antara golongan yang memiliki kepandaian dari lahir, dan sisanya adalah mereka yang berusaha menjadi pandai.

Namun, terlepas dari hal itu, kedua golongan tersebut; tetap saja memiliki satu persamaan. Adalah sebuah pemahaman diri; yang berasal dari logika serta nurani, dan kedua hal tersebut, lahir secara alamiah.

Lalu disini, akulah, si persamaan tersebut;

Ya, meski aku tak menjadi bagian dari si pandai yang dapat menghapal beragam teori diluar kepala, toh aku masih mampu melakukan apapun; berdasar pemikiran alamiah, antara logika serta nurani. Pada bidang bercinta, misalkan.

Ah, apa analogiku terdengar konyol? biarlah, siapa peduli?

Berangkat dari itu, sekarang; mari jabarkan; hal seperti apa, yang telah mengisi penuh isi kepalaku.

Sebuah pemikiran, yang bahkan mampu mengikis akal sehat. Juga perasaan tak keruan, serta rindu yang berkecamuk gila.

Dan Kim Seokjin, adalah jawabannya.

Barangkali, perasaanku dulu itu lahir; karena terbiasa. Lalu semenjak kepergian ia, yang lamanya terhitung cukup mampu untuk membuat sepasang kekasih saling melupa, aku malah berbeda. Kian menanti kepulangannya; seolah percaya, jika iparku itu; hanya sedang salah memilih pasangan, sebelum akhirnya bersanding denganku.

Maka tak heran, pertemuan kami berdua kali ini; seolah menjadi bumerang, bagi kami, yang rupanya; sama bernafsu, untuk memuaskan rindu.

Tentang situasi yang mendukung untuk saling bercengkrama, sampai-sampai, kami pun bertindak tak waras; dengan dalih dorongan naluri.

Lalu, ketidakbenaran yang terjadi pada kesempatan ini; benar terlaksana, dengan tanpa sebuah paksaan. Meski beberapa hal, memang terasa tak selaras dengan akal. Seperti menit yang entah keberapa ini, ketika kami saling bercumbu; menghabiskan pasokan napas, sembari terus mengikis jarak; seolah tak kan' ada waktu, selain hari ini.

Tak ada kalimat pembenaran atas kesalahan ini. Seakan kami cemas jikalau muncul satu kata saja, itu akan memperburuk suasana hati; hingga nantinya cumbuan kami malah tak 'kan berujung.

Lalu, tatkala kelopak maniku yang sedari awal terus terpejam; pun mendadak enggan lagi. Serta merta terbuka, hanya untuk mengintip ekspresi macam apa yang tengah ditampilkan priaku. Setidaknya, hal tersebut akan kujadikan tolak ukur, apakah ia; cukup menikmati pergerakan seorang amatiran?

Dan sampailah aku, pada tatap dalam; dari manik Seokjin oppa, yang barangkali sedari awal memang tak sekalipun memejamkan mata. Lalu, dapat kurasakan, ia sedikit mengulum tawa kecil ditengah pagutan kami; yang sejujurnya masih enggan saling melepas.

Akupun termangu, merasakan bagaimana lengan kekar Seokjin oppa yang kian menahan pinggangku guna semakin mengerat pada tubuh hangatnya, sampai-sampai membawaku semakin terengah; merasa kehabisan napas, juga gemetaran pada kedua kaki yang sedari tadi telah berjinjit; mengimbangi.

Tak heran, lantas kudorong dada bidang pemuda yang sontak memasang raut kecewa, namun mengulas senyum, setelahnya.

"Kita baru saja bertukar ciuman, Jieunnie." katanya, basa-basi. Sembari menatapku lekat, satu tangannya pun terangkat untuk mengusap puncak kepalaku, lalu kembali berkata, "Rasanya, masih sama persis seperti dulu. Memabukan."

Menatap lurus pada pemuda yang adam apelnya kutangkap tengah bergerak turun menelan saliva, sepersekon setelahnya, lantas ku tepis lengan yang sedari tadi sempat melingkari pinggangku. "Aku sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, ya? Berhenti memperlakukanku bak anak kecil." memprotes yang malah disambut hendikan bahu serta tawa miring, selanjutnya pemuda itupun mengangguk mengerti; dengan sedikit dibuat-buat.

STIGMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang