I K C : PART 2 . DHIFA

300 22 1
                                    

Keesokkan paginya. Kahfi mencoba membangunkan Dhifa, namun ia tak tega melihat istrinya yang nampak kelelahan. Kahfi akhirnya menunaikan ibadah sholat subuh sendirian, setelah itu ia mengecup kening Dhifa yang tertidur lalu ia turun ke lantai bawah untuk melihat menu breakfast. Ketika ia kembali, ia melihat Dhifa yang tengah duduk diantara dua sujud, lalu mengucap salam.

Kahfi memperhatikan Dhifa dari balik pintu yang setengah terbuka, ia hanya memandang Dhifa dan ketika Dhifa selesai berdoa ia masuk.

"Assalamu'alaikum. "

Dhifa baru saja membuka mukenahnya. Dan ia melihat Kahfi sudah duduk di atas kasur. "Wa'alaikumussalam. "

"Kamu udah bangun?" Tanya Kahfi pada sang istri.

"Kamu kemana? Aku liat sarung sama sajadah kamu udah ada di atas lemari."

"Aku sholat duluan sayang, aku pikir kamu nggak sholat. Badan kamu masih panas, gini. " ujar Kahfi yang memengang kening Dhifa dengan punggung tangannya.

"Sarapan dulu ya, pasti karena banyak makan es krim, semalem. " sambungnya.

Kahfi menyuapi Dhifa, dan Dhifa duduk di kursi meja makan. Dhifa akhirnya baru berani untuk berbicara pada Kahfi, bahwa ia mau pulang.

"Yang.. Aku mau pulang. " wajah Dhifa tampak murung. "Aku kangen ibu. " ujar Dhifa.

Kahfi memeluknya. Kahfi tau istrinya sedang demam dan mengingkan pulang. Tapi kondisinya yang kurang sehat membuat Kahfi khawatir.

"Iya, kita pulang ya, tapi tunggu badan kamu rada enakkan. Kamu masih nggak enak badan, gini. "

"Mau pulang, Kahf. " rengek Dhifa.

Kahfi mengelus rambut Dhifa, dan mengangguk. Mereka membereskan pakaian mereka dan membeli oleh-oleh dan sorenya berangkat menuju bandara.

"Makasih ya. Udah selalu ada buat aku. " ujar Dhifa.

"Iya sama-sama Dhi, makasih juga udah selalu ada disisi aku. "

Dua orang insan itu kini memandang awan bersama, menatap kearah jendela pesawat. Liburan mereka usai, Kahfi juga tak tega melihat Dhifa yang tengah sakit. Bagi Kahfi menikahi Dhifa berarti menerima Dhifa dengan segala sikap dan tingkah laku nya. Dhifa yang sering merengek, Dhifa yang manja, masih sering merindukan ibu nya, dan semua tingkah Dhifa.

Akhirnya mereka tiba di Jakarta, mereka turun dari pesawat dengan koper berwarna navy yang Kahfi bawa. Dan tas selempang yang Dhifa pakai, serta boneka beruang berwarna coklat yang akan ia berikan kepada Raisa keponakannya sebagai oleh-oleh.

Sesampainya dirumah, mereka segera membereskan pakaian dari dalam koper. Dhifa dan Kahfi menyusun oleh-oleh ke dalam paper bag. Setelah sholat Dzuhur mereka pergi ke rumah Dhirga.

Walau kini mereka sudah hidup berumah tangga, tapi Dhirga tetaplah seorang kakak yang bawel, kadang video call kalo ada waktu senggang, selalu bertanya dan spam chat walau hanya menanyakan udah makan belum? Udah bangun belum? Udah sholat belum? Sama halnya dengan Ibu dan Ayah, ketika mengingat orang tua yang teringat jelas adalah saat ijab kabul waktu itu.

Masih nggak nyangka kalo anak ibu sama ayah udah nikah dan udah nggak bawelin mereka lagi.

Disepanjang perjalanan, Dhifa dan Kahfi membahas soal tenaga pengajar tambahan di TPA milik mereka. Sesekali Dhifa melirik handphonenya, mengetik sesuatu ntah apa. Sesampainya di depan rumah Dhirga, Dhifa melihat Tisya masuk kerumah dan Raisa yang sedang bermain di halaman sendirian. Dhifa keluar dari mobil dengan boneka beruang coklat yang telah ia beli dari Jogja.

"Biar aku yang bawa oleh-oleh ya, sayang. " ujar Kahfi yang melihat Dhifa membuka pintu belakang mobil.

"Makasih ya, sayang. "

Dhifa membuka gerbang rumah Dhirga perlahan, Kahfi yang membuka pintu belakang sembari mengambil paper bag yang dipenuhi oleh-oleh. Sejenak Kahfi melihat ke arah kaca, sembari melihat Dhifa yang hendak memberikan suprise kepada Raisa yang tengah duduk di taman rumahnya.

"Kamu nggak pernah berubah ya, Dhi. "

Mata Kahfi tertuju pada sosok kekasih halalnya yang kini sedang berlarian dengan keponakannya Raisa, beberapa menit kemudian tatapan Kahfi beralih kepada sebuah pot gantung yang ada di pinggir balkon. Pot bunga itu nampaknya goyang. Mulanya ia kira hanya karena tertiup angin tapi jelas terlihat dimata Kahfi, kawat penggantung pot itu sudah rapuh.

"Dhi!!! Awas!!"

Kahfi melepaskan tanagnnya dari paper bag yang baru saja ia pegang, ia berusaha keluar dari mobil namun baju nya tersangkut di pintu mobil.

Dhifa berlarian mengejar Raisa ia tak menyadari bahwa pot yang berada tepat diatas kepalanya sudah goyang. Didalam rumah, Dhirga yang baru saja menuangkan jus ke gelasnya tak mengetahui kedatangan adiknya. Dan Dhifa yang sudah kecapekan mengejar Raisa berdiri dengan tangan dipinggang.

"Raisa udah ya, ante capek. " ujar Dhifa dengan ngos-ngosan.

Kahfi masih berusaha menarik tubuhnya untuk keluar dari mobil, dan begitu bajunya bisa ditarik. Saat itu pula, pot bunga itu jatuh menimpa kepala Dhifa. Gelas jus yang Dhirga pegang pun terlepas dari tangannya. Saat Dhirga dan Tisya mendengar suara tangisan putri mereka, mereka segera keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Kahfi berlari menghampiri Dhifa.

"Dhifa. "

Dhirga dan Tisya dengan cepat melihat kedepan rumah. Kahfi mendapati Dhifa yang terbaring dengan kepala yang berlumur darah, pecahan pot yang berserakan, dan Raisa yang menangis.

Tisya segera menggendong Raisa, dan Kahfi segera membawa Dhifa kerumah sakit. Dhirga pun bergegas membawa mobil Kahfi, dan dengan hati yang cemas penuh kekhawatiran ia berdoa dan terus berdzikir di sepanjang perjalanan. Jalan yang macet membuat Dhirga kesal, berkali-kali ia membunyikan klakson mobil dan akhirnya barulah jalan kembali lancar.

"Dhi, kamu harus bertahan sayang. " ujar Kahfi yang menompang kepala Dhifa di pahanya. Darah berlumuran di tangannya.

Roda berdecit, seolah mengatakan Selamat datang kembali Dhifa. Sudah lama Dhifa tak berurusan dengan rumah sakit, jarum infus pun yang dulunya sering melekat pada punggung tangan Dhifa dan kini terulang lagi. Kahfi merasa ia lalai menjaga Dhifa, ia tak becus menjadi imam Dhifa.

Kahfi sedari tadi lalu-lalang didepan ruang UGD (Unit Gawat Darurat) di sebuah rumah sakit, Dhirga yang sedari tadi merasa bersalah karena peristiwa naas itu terjadi dirumahnya. Beberapa saat kemudian, Dhifa di pindahkan ke ICU (Intensive Care Unit) untuk penanganan lebih lanjut.

Kahfi mengintip Dhifa dari celah jendela kaca kecil, Kahfi bisa saja terus meneteskan air matanya ketika lagi-lagi ia melihat Dhifa terbaring diranjang rumah sakit dengan infus ditangannya, namun itu juga tak akan membuat kejadian naas itu hilang seakan mimpi buruk, Kahfi duduk menenangkan dirinya dan juga Kak Dhirga sembari berdo'a dan meminta pertolongan kepada sang pencipta, agar sosok yang sudah melengkapi hidupnya itu segera sadar dan dalam kondisi baik.

"Kahf!!" pekik seorang pria yang baru saja datang menghampiri Kahfi yang sedang menutupi wajahnya.

Istiqomah Karena Cinta (SEQUEL HIJRAHKU BAWA AKU PULANG) [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang