9 tahun kemudian...
Semalam, hari dimana diriku menginjak umur 17 tahun. Aku melihat perubahan besar dari diriku, mulai dari rambut, postur tubuh, kulit, dan tempat tinggal transparan yang sudah kutempati bertahun-tahun, sendirian. Ajaib memang, sampai sekarang orang-orang di sekitar lingkungan ini tidak tahu bahwa ada sebuah rumah, dan aku jarang sekali keluar darisini. Hanya mencari makanan, air, setelah itu menghabiskan waktu dengan menikmati pemandangan yang bisa dilihat dari kaca transparan ini.
Aku hidup karena teknologi. Aku bertahan karena adanya teknologi. Keluargaku pun teknologi, karena semakin lama, melalui benda yang pernah kutemukan ketika berumur 8 tahun itu bisa menghasilkan sesuatu yang tidak hanya rumah. Sofa berbentuk transparan, tempat tidur, bahkan pakaian namun dengan warna yang terbatas. Hitam, putih, abu-abu, merah pekat, dan cokelat. Model bisa diganti, seakan-akan benda bulat tersebut seperti kantungnya Doraemon.
Hanya perlu akses kode 777, dengan tampilan layar yang mengambang di udara, nge-design teknologi yang kuinginkan, semisal handphone yang sudah terhubung dengan jaringan, benda tersebut membelah, dan mengeluarkan apa yang sudah aku design.
Benda ini memang aneh, kadang timbul perasaan ingin segera bertemu dengan pemiliknya, namun apakah bisa, setelah sekian lamanya? Dan pemiliknya belum tentu hidup sampai sekarang.
Jika aku bertemu, aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Kaca transparan memantulkan bayangan diriku yang tengah memakai pakaian merah pekat selutut dengan rambut yang aku sanggul. Mata violet ku berpendar, dan aku bisa melihat kulitku dari bahu hingga telapak tangan. Bajuku tidak berlengan.
Matahari mulai tumbang di ufuk barat, aku segera keluar rumah dan otomatis rumahku berbentuk aslinya. Setengah lingkaran putih yang tidak ada sedikit pun debu menempel di dinding kotak-kotaknya. Aku membawa benda bulat, dan memang setiap hari aku bawa, aku menekan tombol-tombol yang ada pada layarnya. Tidak lama, rumah kembali berbentuk transparan.
Yap, rencanaku, hari ini akan mencari makanan.
Baru saja 20 langkah ke arah barat daya, tiba-tiba ada seseorang menabrakku dari belakang. Aku tersungkur, namun bibirku tidak berdarah.
Kulihat seorang cowok yang berkisar 20 tahun dengan jaket kulit nya berwarna hitam berkilat mengeluarkan luka pada pelipisnya akibat menabrakku. Ehm, ini adalah salah satu realita mengenai diriku yang masih kusembunyikan hingga sekarang.
Aku tidak bisa berdarah, tetapi orang yang mengenaiku bisa.
Ia memegang pelipis kirinya dengan heran. Alis matanya naik sebelah, lalu dilihatnya telapak tangan kanan yang beradu darah. Matanya sedikit melotot. Ia menatapku, dengan tatapan bingung nya.
"Kamu ini apa? Banteng kah?"
Dengan sigap aku membantunya, mengeluarkan sebuah benda bulat lalu mengetik kode-kode yang ada di tampilan layar. Sorot mata cowok itu semakin bingung, dan tidak lama mulutnya agak sedikit menganga lebar.
"Itu....,"
Sebuah kain steril berwarna putih bersih keluar dari benda tersebut. Aku mengelap pelipis kirinya, dan ketika hendak meletakkan benda bulat ke dalam kantung, ia menghentikan gerakanku.
"Kamu...Darimana dapat benda itu?"
Alisku naik.
Dia masih menatapku dengan bingung.
"Udah lama,"
Ingin ku lanjutkan gerakanku, namun dihentikan kembali.
"Serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Will End
Teen Fiction"Jangan memaksakan aku menjadi kalian, karena aku, bukan kalian," Ketika kendaraan menyemaraki tanah Klakson-klakson berdengung dibawa haluan udara Lampu-lampu kota menjadi bintang Disitulah aku berdiri Menatap langit dengan tatapan kosong Indahnya...