Interview

51 9 7
                                    

Sesuai kesepakatan, keesokan harinya aku turun ke lantai ground pukul 8:30 am, hendak sarapan sebelum pergi ke Charité Universitätsmedizin Berlin---rumah sakit milik Ny. Forrest---ibu dari Mera Forrest. Aku dan Mera bertemu di lobby, bersama-sama kami beranjak mengambil oatmeal masing-masing, dua croissant, segelas air putih serta segelas jus jeruk.

Kami mendapatkan tempat duduk kosong nan strategis; dekat dengan jendela kaca secara menyeluruh, menyuguhkan pemandangan bangunan Victoria dan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi.

"Aku sudah berbicara dengan ibu," Mera membuka topik. "Awalnya ia tidak percaya dengan ceritaku, tapi setelah aku membujuknya agar melihatmu langsung hari ini, dia menyetujuinya."

"Aku sangat gugup sekarang," ujarku. "Kau tahu, semalam aku tidak dapat tidur nyenyak, sehingga aku menghabiskan waktuku membaca e-book kedokteran. Mungkin, apa yang telah kubaca akan berguna di saat interview nanti,"

"Yah, itu bagus. Asal kau tidak merasa kelelahan,"

Kami menikmati oatmeal dengan bergelut bersama pikiran masing-masing. Sejenak, hanya suara dentingan sendok, garpu, pisau yang menyentuh permukaan mangkuk ataupun piring menggantikan suasana senyap diantara kami. Ya, tidak ada yang bersuara sedikitpun, karena kami terlalu menikmati suguhan sarapan pagi ini.

Ketika aku meneguk air putih, Mera kembali bersuara. "Kau punya handphone?"

Jantungku sedikit bergemuruh. Pasalnya, handphone yang kumiliki berasal dari sistem silver ball. Tidak mungkin aku memberitahunya secara terang-terangan, kan?

"Tentu saja. Kita bisa bertukar kontak,"

Mera menyodorkan handphone iPhone X nya kepadaku, bermaksud agar aku menambahkan nomor kontak teleponku yang tersambung dengan aplikasi Whatsapp. Jari-jariku lincah memencet tombol angka, lalu kusodorkan handphone nya ketika selesai klik 'save'.

"Mari bergegas. Ibuku sangat disiplin waktu, jadi kita tidak boleh sampai telat!" Begitulah ucapan Mera kala sedetik kemudian, makanan dan minumanku tandas. Kami segera berdiri, memberikan mangkuk dan piring yang sudah habis isinya kepada pelayan pencuci, merapikan kursi, lantas bergerak menuju garasi---terlihat seperti garasi khusus, menuju mobil Mera yang....Astaga! Dia benar-benar anak orang kaya! Mobil Mercedes Benz berwarna biru tua mengilat membuatku terkagum-kagum.

"Kau duduk di depan saja," tukas Mera saat melihatku hampir membuka pintu belakang mobil.

Perjalanan menempuh rumah sakit sekitar 1.5 kilometer dari hotel. Jalanan lumayan padat, sehingga kecepatan mobil hanya 40/60. Mera menghidupkan radio, ia memutar musik---wait---lagu nya menggedor-gedor gendang telingaku; begitu bersemangat sekali melodi nya!

Mera mulai bernyanyi riang.

It's your moves baby~
Cause I can't dance in the way that you do~
But I got that love that you ain't use to~
Hey~
And when the DJ spinnin' that song that we groove to~
Oh my~
Come on teach me how to dance!~

Tak sengaja aku tertawa melihat Mera berjoget ria. Ah, sudah lama aku tidak tertawa lepas begini. Semenjak banyak musibah yang membuatku pusing dan merasa useless, banyaknya kematian bergelimpangan diakibatkan kurangnya kendali kekuatanku, kehilangan teman-teman yang sudah kusayangi layaknya keluarga sendiri...Kini aku mengikuti gerakan Mera yang begitu relax, melupakan sejenak masalah-masalah yang menghantui pikiranku beberapa hari terakhir ini.

Biarkan aku merasa santai dan gembira, walau sebentar saja....

Biarkan aku melupakan kecurigaanku terhadap Mera.

Sky Will EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang