"Heh?" aku cengo. Dia tahu bakatku yang itu?! Kumundurkan tubuhku darinya---5 cm. Wajahnya panik. Dia melambai-lambaikan tangannya, kepalanya menggeleng.
"Maksudku kemampuan otakmu dalam suatu bidang, Serrena. Sebagai mahasiswi psikologi, tentu aku tahu ciri khas orang pintar," jelasnya. Aku bernapas lega.
"Nah, sebelum memulai, aku ingin mengambil beberapa pakaian yang akan kupinjamkan kepadamu. Maukah kau menunggu sejenak?" Aku mengangguk, kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat ke pintu---membuka pintu lalu menutupnya pelan. Aku mengedarkan pandangan terhadap nuansa hotel ini. Modern sekali! Bed nya terlihat nyaman, ada dapur kecil tersedia di sebelah pojokan kiri. Diluar terdapat balkon yang cocok dijadikan tempat relaksasi menikmati pemandangan, dan memungkinkan para perokok merokok bebas darisini.
Kamar hotel ini bernuansa cokelat muda, bathroom nya pun demikian rupa. Ada shower dan bathup, sabun eubos beserta colorvitality shampoo, kloset bening nan bersih, hairdryer, pengharum ruangan. Setelah kakiku menjelajah isi kamar hotel, aku kembali duduk di sofa tadi. Ingatan mengganjal sekilas lewat di kepalaku, ketika Mera menyebut kata 'bakat'. Ada sesuatu yang mengganjal darinya.
Jikalau bakat yang ia maksud ialah kemampuan bidang---aku memang tidak pandai dalam hal psikologis tetapi aku tahu pasti ia sedang menutup sesuatu---kenapa raut wajahnya seketika langsung panik dan buru-buru menjelaskan? Seharusnya ketika dia melihatku kebingungan dalam artian 'maksudnya', dia bisa saja berkata; "bakat bidangmu lah, apalagi?", "tentu saja bakat bidang"; yang pastinya tidak perlu repot-repot memasang raut wajah panik. Kalian mengerti maksudku, kan?
Inilah yang membuatku bingung.
Apa dia tahu sesuatu tentang kekuatanku?
Tapi mengapa ia menutupinya?7 menit kemudian, Mera kembali ke kamar hotelku diselingi senyum menawannya. Ia membawa beberapa tumpuk pakaian lalu meletakkannya dengan anggun di atas twin bed sebelah kiri.
"Jangan sungkan memakainya, asal kau menjaganya dengan baik." jelas Mera. Aku melihat-lihat pakaian yang dibawakannya; dress, t-shirt, shirt, skirt, legging, jeans. Begitulah jenis-jenis nya. Malas rasanya menghitung tumpukan pakaian, lagipula Mera menyuruhku duduk kembali.
"Baik, mari kita mulai." Aku menatapnya intens, menunggu kalimat per kalimat yang akan diutarakannya.
"Sebenarnya, bidang manakah yang paling kau minat? Kau lebih suka mempelajari teknik kah, sejarah kah, ekonomi kah--"
"Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya," potongku. "Lagipula, aku sudah tidak bersekolah lagi bukan?"
"Ya, tapi percuma kalau kepintaranmu sia-sia," lanjut Mera. "Ok, pertanyaan selanjutnya. Bidang mana yang menurutmu lebih nyaman? Sains atau Sosial? Kau lebih nyambung bila diajak diskusi di bidang mana?"
Aku berpikir sejenak. Mungkin Sains? "Sains."
"Hmm, well," dia berhenti sejenak. "Ceritakan padaku apa yang kau ketahui tentang Sains."
"Yah, simple saja. Sains itu banyak, mana yang akan kujelaskan secara detail? Kau harus mengujiku dengan beberapa pertanyaan!"
"Santailah," Mera tertawa. "Sudah kuduga kau memang cerdas."
Aku hanya menatapnya, menunggu. Entahlah, aku juga tidak merasa yakin dengan kemampuanku di bidang Sains. Tapi kekuatan yang mengalir di tubuhku, berhubungan dengan Sains walau bertentangan alam teori bukan?
"Ada seorang pasien laki-laki berusia 57 tahun datang ke poli mata karena mata kabur, terutama saat membaca koran. Pasien memiliki riwayat kacamata menggunakan lensa cembung dengan ukuran 1.00 sejak 15 tahun yang lalu. Diagnosa apa yang akan kau berikan terhadapnya?"
Aku berpikir sejenak, lalu menjawab tanpa ragu. "Presbiopia. Ya, aku memberinya diagnosa tersebut. Mengapa? Pasien memiliki kondisi yang berhubungan dengan usia dimana penglihatan kabur ketika melihat objek jarak dekat. Tentu saja ia memiliki riwayat rabun jarak dekat, karena lensa yang digunakan adalah lensa cembung. Tak hanya itu, sang pasien mengalami masa 'proses degeneratif' mata yang pada umumnya dimulai pada usia kisaran 40 tahun. Kelainan ini juga terjadi karena lensa mata mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk berubah bentuk."
Wait for a seconds! Itu....Barusan mulutku yang berucap kan? Apa aku tidak salah dengar???
Sejak kapan mulutku lancar seperti itu hey???!
Mera menatapku tanpa berkedip, hingga aku melambaikan tangan ke hadapannya. Tentu saja aku memanggil namanya berulang-ulang, kemudian bahu nya kugoyang-goyangkan. Ia mengerjap-ngerjap, manik matanya menusuk bola mataku secara takzim.
Tepuk tangan terdengar membahana. "Luar biasa! Jawabanmu sudah seperti mahasiswi jenius! Kau berbakat di bidang kedokteran, Serrena!"
Aku menganga, terkesiap. "Ke-kedokteran?! Tadi barusan aku yang ngomong???"
Mera menghentikan gerakan tepuk tangannya. 5 detik senyap, digantikan ketawa nya yang membahana seantero ruangan. Ditepuknya bahu-ku berkali-kali.
"Terus siapa yang ngomong? Zombie?" Aku menyengir tidak jelas.
"Kau perlu pekerjaan. Pekerjaan yang sangat cocok untukmu. Kau tidak perlu menempuh kuliah untuk memasuki pekerjaan tersebut, karena dengan kepintaranmu itu kau sudah dianggap melebihi anak kuliahan!"
"Sebentar, pekerjaan apa?"
Mera tersenyum tipis. "Kau akan menjadi dokter di rumah sakit milik ibuku, Serrena! Tenang saja, aku akan berbicara kepadanya bahwa aku menemukan gadis pintar berumur 17 tahun mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis. Kalau ibuku tidak percaya, aku akan menyeretmu langsung ke hadapannya, pasti beliau bakal ternganga," tawa Mera semakin keras. Perutku tergelitik olehnya.
"Menjadi seorang dokter itu tidak mudah, aku iri denganmu," Mera menghentikan tawa nya. "Dulu, aku bercita-cita ingin menjadi Dokter. Tapi sayangnya aku tidak terlalu serius belajar mendalami ilmu kedokteran. Ibuku mengamuk karena aku tidak belajar dengan benar, kerjaanku hanya menghabiskan waktu di club bersama teman-teman sebayaku, menghabiskan waktu bersama hingga tengah malam. Sewaktu aku seusiamu, aku tidak pernah memahami 'hasil jerih payah belajar'. Dan kini...,"
Mera mengusap air mata yang menggenang di pelupuk kirinya. "Melalui mata kepalaku sendiri, aku menemukan seseorang yang sangat luar biasa. Aku iri padamu. Walau kau tak bersekolah lagi, tapi kau ditakdirkan untuk menjadi orang pintar. Aku yakin, suatu saat, kau akan sukses besar!"
Diam. Menyimak kata demi kata adalah pilihan terbaik saat ini. Sukses, ya? Entahlah, apakah aku bisa sukses mengendalikan emosiku? Apakah aku bisa sukses mengendalikan ragaku agar tidak dikuasai oleh arwah ibuku sendiri? Apakah aku bisa sukses mengendalikan kekuatanku?
"Besok, aku akan menjemputmu pukul 9. Kita akan sarapan bersama sebelumnya di lantai ground, lalu aku akan memperkenalkanmu kepada ibuku. Kau akan diseleksi menjadi dokter magang tanpa sertifikat dari universitas. Kau hanya perlu mengerahkan seluruh ilmu yang kau punya,"
"Tapi--"
"Tidak ada tapi-tapi. Inilah tugasku sebagai calon psikolog, membantu, meyakinkan, dan menyemangati orang-orang demi kepercayaan diri mereka. Kau harus mendaftar. Kau akan menjadi sejarah baru demi masa depan ilmu!"
"Demi masa depan ilmu." Ulangku.
"Deal?" Mera mengulurkan tangan.
Ragu-ragu aku membalasnya.
"Deal!" Balasku.
Mungkin ini akan menjadi kesempatan terbesarku. Kuharap semuanya baik-baik saja.
***
Wih guys! Author juga mau kali, ditawarin jadi dokter tanpa perlu nilai kuliah🤣
Serrena hebat bat ya?
Serrena : "Hebat dong, siapa dulu Author nya!"
Author : "Tega nya Serrrr, melangkahi Author nya! ngeselin deh.-"Vomment if y like this chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Will End
Teen Fiction"Jangan memaksakan aku menjadi kalian, karena aku, bukan kalian," Ketika kendaraan menyemaraki tanah Klakson-klakson berdengung dibawa haluan udara Lampu-lampu kota menjadi bintang Disitulah aku berdiri Menatap langit dengan tatapan kosong Indahnya...