Don't Let It Ruin

50 9 5
                                    

Semua dokter maupun suster, turut berduka cita. Aku meremas dompet pink polos milik Lilly---tanganku berkeringat dingin---mataku menyalang menatapi seluruh objek yang ada disini. Lilly tak memiliki keluarga, ataupun berkeluarga. Hanya aku satu-satunya keponakan yang tersisa.

Aku mengurus pemakaman. Ya, walaupun dendam terhadapnya masih membekas di hatiku, tapi apa boleh buat? Subjek dendamnya sudah mati, apalagi yang dapat kulampiaskan?

Sambil menatap kosong ke arah gundukan tanah, aku mengingat percakapanku dengan Maxrou dan juga para suster beberapa jam yang lalu.

"Tantemu?" Maxrou mengerjap.

"Ya. Ceritanya panjang, tapi aku masih tidak tahu penyebab ia sekarat saat ini."

Para suster menatapku prihatin, namun aku mengabaikan tatapan mereka itu.

"Okay, kita akan bahas itu sekarang. Kemungkinan besar pelakunya melarikan diri, atau mungkin sedang mengawasi kita," ujar Maxrou layaknya seorang polisi.

Dalam hati aku menggeleng. Tidak, tidak! Pelakunya pasti ibuku! Tapi, siapa pula yang mau percaya dengan omong kosong ini?

"Antibodi-nya langsung pecah begitu virus masuk. Impuls nya terganggu secara cepat, jaringan tubuh menolak terhadap virus namun virus tersebut mendorong paksa. Kita tidak tahu virus apakah itu, tapi yang pasti berasal dari konsumsi sang pa-"

"Aku tidak setuju dengan pernyataanmu." Tukasku. "Virus yang masuk ke tubuh tanteku bukanlah berasal dari konsumsi!"

"Lantas, apa menurutmu yang lebih spesifik?" Maxrou mengangkat sebelah alisnya.

Aku meneguk ludah. Kuusahakan agar menjelaskannya secara logis di akal manusia. "Udara. Begitu tanteku sedang berada di luar rumah, ada sesuatu yang menelusuk indra penciumannya, sang pelaku menyodorkannya langsung. Memang sulit mengobservasi apa yang di-konsumsi tanteku sebelumnya karena organ-organ pencernaannya menghilang. Hanya ada satu cara untuk memastikan bahwa pernyataanku adalah benar!"

Aku menghela napas, kemudian melanjutkan. "Organ hati-nya. Kita akan membedahnya sekarang!"

"Berikan aku artery forceps!" Salah satu suster bergerak cepat mengambil alat yang dimaksud oleh Maxrou.

Setelah memberikannya kepada Maxrou, ia menjelaskan. "Langkah pertama, kita harus menjepit pembuluh darah utuh yang tersisa,"

Maxrou memulai kegiatannya, dengan memasukkan alat tersebut---mencoba menjepit pembuluh darah setengah utuh yang terhubung dengan organ hati.

Ketika dilihatnya pembuluh darah tersebut hampir pecah, Maxrou buru-buru melanjutkan. "Pean hemostat!"

"Here," suster lainnya menyodorkan sebuah penjepit yang bergerigi di dalamnya, dan ujungnya bengkok. Maxrou mulai menahan pembuluh darah tersebut agar tidak hancur.

Aku mendekatkan diri untuk memeriksa hal-hal ganjil yang ada disana. Pandanganku jatuh terhadap benda---terlihat seperti serpihan yang ada di luar permukaan empedu. Serpihan tersebut terlihat mengilap kelabu, seolah-olah jejak yang ditinggalkan oleh tornado.

"Apa itu?" Maxrou bergumam, namun masih dapat kudengar.

"Splinter forceps!" Aku berseru kepada suster, salah satu dari mereka yang dekat dengan meja berisikan berbagai macam pinset menyodorkannya kepadaku. Aku menyingkirkan serpihan-serpihan tersebut dengan hati-hati.

"Apakah ada makanan maupun minuman yang meninggalkan jejak berupa serpihan?" Sindirku ke Maxrou. Dia terdiam.

Aku meletakkan serpihan-serpihan tersebut ke wadah yang disiapkan oleh suster. Serpihan itu---entah mengapa lumayan lengket di pinset-ku, sehingga bunyi pantulan yang beradu antara pinset dengan wadah sedikit memekakkan telinga---apalagi di ruangan operasi.

Sky Will EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang