Heartbreak

107 28 13
                                    

Aku membuka code tirai transparan dengan bed number Hexa. Kemudian, seorang gadis berwajah sedikit pucat sedikit melotot melihat kedatangan kami. Aku hendak mengelus puncak kepalanya, namun dia menepisku dengan kasar seperti yang dilakukan oleh Andina tadi.

"Terkutuk lo!" ketusnya. Aku menelan ludah.

"Monster...," ucapnya lagi.

"Hexa, aku minta maaf. Aku tidak se--"

"Pergi sana lo, iblis!"

"Hexa, please--"

"Adek gue yang lagi les di gedung sebelah mati gara-gara lo!"

Aku tertegun. Ternyata gedung yang kebakaran di sebelah bangunan sekolah....

Hexa meraba-raba sesuatu yang ada di sekitar nakas sebelahnya. Ia menemukan sebuah gunting kecil, entah untuk apa dia melihat lamat-lamat benda tersebut seraya tersenyum miring. Pandangannya berpindah ke arahku, dan....

Tring! Gunting itu melayang, seharusnya mengenaiku. Namun karena arahnya berbanding terbalik, sehingga mengenai bola mata kirinya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHK!"

Pemandangan mengerikan diluar ekspektasi.

Gunting itu melekat pada mata kirinya. Cucuran darah mengalir seperti air terjun, bahkan Hexa berteriak berkali-kali. Reyynard segera memencet tombol transparan yang ada pada tirai pasien, guna untuk memanggil dokter. Para dokter dan suster terkejut melihat keadaan Hexa. Buru-buru mereka membawa Hexa dibawa ke Emergency Room Unit karena tancapan gunting tersebut sangat dalam.

Kemungkinan besar Hexa buta total.

Reyynard menatapku tidak percaya. Aku segera meluruskan maksud tatapannya itu.

"Aku tidak berniat sama sekali, kekuatanku memang spontan Reyy."

Reyynard memelukku. Aku menitikkan air mata dalam dekapannya. Tidak peduli baju kami akan lembab, sungguh aku tidak tahan dengan kelebihan yang terlalu diluar nalarku ini.

"Reyy...Apakah aku akan menjadi tahanan kriminal?" aku mendongak menatap manik matanya. Teduh.

"Tidak, jangan berpikiran seperti itu. Aku selalu bersamamu," ia semakin mengeratkan pelukannya.

Nyaman.

Kami hampir lupa untuk mengunjungi Cannon. Kini ia sedang duduk di atas tempat tidur pasien, meraba-raba pinggangnya dengan ekspresi menahan sakit. Aku menghampirinya.

"Cannon, I'm sorry--"

"It's okay. It was an accident right?" betapa hangatnya temanku yang satu ini tidak membenciku. Aku mengangguk.

Tatapan Cannon beralih ke Reyynard. "Who're you?"

"Ah, her brother."

"My friend," Reyynard dan aku menjawab bersamaan. Cannon ketawa melihat kami.

"Mana yang bener nih?"

"Ah--"

"Eh--" lagi-lagi kami kompak.

Suara tawa menggelegar. Sejenak aku melupakan kejadian menyakitkan tadi. Kami berbincang ringan mengenai hobi, pengalaman belajar, hingga mengenai keluarga.

"Lo sama sekali ga punya keluarga Serr?" tanya Cannon bingung. Aku mengangguk santai.

"Ga berniat buat cari tau?" tanyanya lagi.

"Untuk apa? Bisa saja mereka meninggal,"

"Tapi lo kan harus tau siapa orang tua lo, kenapa lo bisa punya kekuatan, mungkin dari itu bisa membantu lo mengendalikan emosi dan kekuatan lo,"

Sky Will EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang