Suara pabrik.
Suara burung berkicau.
Suara kendaraan berasap.
Gema langkah kaki manusia yang tengah berjalan cepat.Matahari sudah beranjak tumbang sejak 6 menit yang lalu. Aku berjalan cukup lama, tertatih-tatih langkahku dan lidahku mulai kehausan. Tidak tahu tujuan, tidak tahu keberadaan, tidak ada orang yang kukenal, semuanya terasa asing disini selain kejadian tadi. Kukeluarkan silver ball, daripada menghabiskan uang demi membeli minuman, di dalam benda super ajaib ini terdapat jus kotak mangga. Segera kuteguk hingga dahagaku hilang sepenuhnya.
Aku berhenti di salah satu toko elektronik yang telah ditutup, kujatuhkan bokongku di depan pintunya. Kini, aku terlihat seperti seorang gadis gelandangan, yang memiliki cukup banyak makanan dan sebuah peralatan canggih. Mana ada yang peduli dengan keberadaan seorang gadis seperti ini? Terus saja kuseruput minumanku, masa bodoh memikirkan dimana tempat peristirahatan!
Teringat lagi kejadian ketika Reyynard ditembak di hadapanku. Kepala Cannon digorok juga menghiasi bayang-bayangku sekarang. Aku letih mengingat semua itu, dan juga seseorang yang mengkhianati kami.
Setelah jus kotak mangga kuhabiskan, aku membuangnya ke tong sampah yang ada di samping kanan toko elektronik, sebuah gang buntu kecil. Kulanjutkan kembali langkahku, melihat-lihat pemandangan sekitaran kota kecil ini. Asap makanan lezat menghembus ke udara, membuat saraf olfaktori manusia bekerja cepat. Tunggu! Sejak kapan cara bahasaku seperti orang kedokteran?
Aku memutuskan untuk mampir ke restorang yang dibumbui asap lezat itu. Kakiku melangkah masuk---bel lonceng berbunyi kencang---menandai orang yang masuk-keluar. Nuansa restoran ini lumayan modern; dindingnya berwarna hijau tua ditambah dekorasi butterfly yang merayap di dindingnya. Lantai restoran ini kelihatannya terbuat dari kayu terbaik---cokelat tua. Ruangannya memiliki 4 Air Conditioner, dan semuanya terlihat ramai.
"Hallo, kann ich Ihnen helfen?(halo, ada yang bisa saya bantu?)" seorang pramusaji melayaniku. Aku menyunggingkan senyum.
"Nichts, ich will mich nur umsehen(tidak ada, saya hanya ingin melihat-lihat)"
Pramusaji tersebut melemparkan senyum sejenak, lalu ia mulai sibuk melayani pelanggan lain yang mulai berdatangan. Aku melihat menu appetizer nya, ada Snappy Cocktail Meatballs seharga 1€, lalu Smoked Sausages with Mustard Sauce seharga 3€, ada juga yang menarik perhatianku---Hot Kielbasa Dip seharga 4€.
Kemudian aku melihat menu drink nya; harga juga tidak jauh beda. Ada beberapa uang yang tersedia di dalam silver ball, mungkin aku juga bisa membelinya.
Baru saja ingin melakukan order, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh, kudapati sesosok gadis berambut pendek---lurus dan berwarna cokelat tua---memiliki bola mata abu-abu serta bulu mata yang sangat lentik, memberikanku selembaran brosur. Senyumannya membentuk garis tipis, kutebak ia adalah gadis yang cuek.
Tapi ternyata tebakanku salah!
"Aku yakin kau sedang mencari penginapan." ucapnya tiba-tiba. Aku terkejut.
"Darimana kau tahu itu?"
"Gelagatmu sangat mudah dipahami bagi semua orang. Penampilanmu berantakan, dan kau terlihat murung. Tentu saja orang seperti kau mengalami hari yang begitu lelah, sehingga tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah sendiri. Kau juga terlihat kusam, yang berarti kau tidak mandi berhari-hari." Wah, opininya tepat sekali! Mulutku menganga sedikit.
"Ohya, perkenalkan. Namaku Mera Forrest. Aku anak dari pemilik hotel 'Forrest' yang tengah kubagikan brosur nya saat ini. Aku gadis yang baik hati. Sebagai gadis yang baik hati, aku mengizinkan kau menginap gratis di hotel ayahku dengan satu syarat!"
Aku menatapnya, melongo. "Syarat apa?"
Gadis berambut pendek itu mengulurkan tangannya. "Kita berteman!"
Oke, mungkin ini syarat yang terdengar cukup aneh namun tidak berat untuk dilaksanakan. Aku menerima uluran tangannya, seraya berkata. "Serrena Sloan". Ia mengangguk-angguk takzim, lalu menarik lenganku tanpa izin.
"Hey, kita mau kemana?" tanyaku dengan dahi berkerut.
"Ke hotel, tentu saja. Disana tersedia makanan gratis khusus untukmu!" gadis ini berkata riang, kami berjalan menuju Underground, dan ia langsung membeli tiketnya.
Beberapa menit kemudian, kereta yang akan kami naiki datang. Kami menunggu orang-orang yang turun dari kereta di batas pinggir, setelah keadaan sepi kami langsung menerobos ke dalam, mencari tempat duduk yang banyak kosong. Kereta berangkat, dan sepertinya kami perlu menunggu hingga 8 menit.
<~>
Wah!
Itulah kesan pertamaku ketika melihat gedung kaca yang menjulang tinggi di hadapanku. Ternyata nama hotelnya tidak seperti kenyataan yang ada di depanku saat ini. Aku membayangkan bahwa hotel yang akan ku kunjungi berada di tengah hutan, arsitekturnya terlihat tua dan permukaannya kasar, sepi, banyak hewan berkeliaran.
Tetapi yang satu ini sangat modern!
Dan tentunya tidak berada di hutan.Mera Forrest menyapa para pelayan, para pengunjung yang sedang acara di hotel maupun yang sedang menginap, beberapa karyawan hotel yang lewat, sesekali mereka melirik ke arahku. Aku tersenyum kikuk, terus mengikuti langkah Mera yang berbicara dengan karyawan yang berjaga.
"Kau punya pekerjaan?"
"Heh?" Aku mengerjap-ngerjap bingung.
"Yah, aku tahu umurmu masih berkisar anak sekolahan," sahut Mera. "Tapi kupikir sekarang kau sedang tidak bersekolah,"
Aku bergeming.
"Biar kutebak, otakmu sangat lancar dan kau itu cerdas! Kita bisa mencobanya sekarang,"
Aku mengerjap-ngerjap tak mengerti.
Sang karyawan memberikan kunci hotel---berupa card room kepada Mera, lalu Mera memberikannya padaku. Ia mengantarku menuju lift, memencet tombol angka '8', yang berarti kamarku berada di lantai 8, dan menunggu lift bergerak ke atas.
Yang kukagumi hal lain dari hotel ini adalah---lift yang sedang kunaiki bergerak mulus! Pasti katrol nya memiliki teknologi mutakhir sehingga tidak terasa getaran sepersen pun.
Pintu lift terbuka. Karpet cokelat bermotif kuda emas membentang di seluruh koridor lantai ini. Aku menjejakkan kaki diatasnya---hmm, lembut! Melewati 6 pintu, satu di kanan dan satu di kiri, langkah kami terhenti ketika berada di pintu ke-7, sebelah kanan. Mera menempelkan card room-ku, tak lama terdengar bunyi bip!
"Aku bisa meminjamkan bajuku kepadamu," ucap Mera ketika kami menghempaskan bokong masing-masing ke sofa cokelat tua yang empuk. Aku melirik ke arahnya.
"Nanti akan kupinjamkan setelah peregangan otot kakiku saat ini," ia meregangkan kedua kaki nya, menekuknya lalu meluruskannya kembali---melakukan gerakan tersebut berulang-ulang. Kulihat ada televisi besar disertai remote control transparan. Air Conditioner disini menyala secara otomatis, dan cara menurunkan suhu maupun mematikan sistem nya cukup menengadahkan telapak tangan ke sumbernya, lalu entah bagaimana bisa---otomatis AC tersebut menuruti keinginan 'tuannya'.
Sungguh teknologi sekarang semakin aneh!
"Jadi, apakah kita akan memulainya?" aku melirik kembali ke Mera.
"Memulai apaan?" lagi-lagi aku bingung dibuatnya.
Ia tersenyum, entah...Entah senyum mendefinisikan kebahagiaan atau senyum setan-setan---i mean like smirk devil, tapi itu cukup membuatku was-was.
"Bakatmu."
***
Vomment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Will End
Teen Fiction"Jangan memaksakan aku menjadi kalian, karena aku, bukan kalian," Ketika kendaraan menyemaraki tanah Klakson-klakson berdengung dibawa haluan udara Lampu-lampu kota menjadi bintang Disitulah aku berdiri Menatap langit dengan tatapan kosong Indahnya...