hurricane

17 2 2
                                    

"The fvck, apa yang harus-"

Kedip-kedip merah tersebut semakin mengedip cepat—meledak hingga tersisa bongkahan-bongkahan dinding yang sudah terlanjur jebol. Belum selesai mengambil kesimpulan, kami tidak sempat melindungi diri menggunakan shield dari silverball. Kami terlempar ke seberang dinding; kepala kami saling beradu sehingga aku dapat merasakan nyut-nyut di bagian temporal. Telinga ku berdenging, diiringi sahutan ledakan yang belum kunjung habis. Kepala ku belum sanggup menoleh—memastikan keadaan Ny. Forrest yang berada tiga jengkal dariku. Entahlah, masih sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan orang lain?!

Beribu pertanyaan menyerbu masuk ke otakku: bagaimana jika lokasi kami ketahuan oleh para ilmuwan yang masih mencari kami? Bagaimana aku bisa menyanggupkan diri untuk segera lari darisini? Bagaimana, bagaimana, bagaimana....

Sial. Kepala ku semakin berat.

Kami tidak akan bisa keluar darisini!

"Itu, itu mereka!"

Oh sial.

Beberapa langkah para ilmuwan mulai mendekat ke arah kami. Belum sempat menyeimbangkan diri, puluhan todongan pistol bening mampu membuat kami masih terdiam di tempat. Aku masih berusaha menghilangkan dengingan di telinga ku, menajamkan penglihatan ku, mengusap wajahku akibat kepulan debu ledakan yang ditimbulkan, dan yang paling penting membersihkan isi kepala ku dari hujatan-hujatan terlebih dahulu. Kutolehkan pandangan ku ke Ny. Forrest—yang entah dari kapan—kedua lengan nya sudah dicengkeram oleh salah satu polisi berbadan tegap disana.

Aku menggeram.

"Santai, kau tidak perlu memberontak," suara bariton yang amat ingin kutemui membuatku terkejut. "Kalau memang mau dibebaskan darisini."

"Lepaskan dia!" Geramku.

"Ada keperluan apa kau disini? Rencana bunuh diri?" Aku dapat merasakan gejolak amarahku semakin meluap di dalam sana. Pria itu melebarkan langkah nya—mendatangiku. Belum apa-apa, ia sudah mencekik leherku. Aku meronta-ronta—sebab pasokan oksigen menghilang dalam sekejap! Ia mengangkat badanku tinggi-tinggi—sukses membuat paru-paru ku menjadi pengap.

Ekor mataku menangkap gerak-gerik memberontak Ny. Forrest—yang segera dibantu oleh para ilmuwan lain untuk menahan nya. Aku mencoba memutar otak—berpikir—melumpuhkan target yang sudah kutunggu-tunggu ini. Walaupun pasokan oksigen kian sedikit, kusempatkan untuk menoleh ke arah kiri ku—melihat hasil dari ledakan sialan tadi.

Ternyata, hasil dari ledakan tadi nihil. Hanya dinding kosong yang menyisakan batu-bata nya. Tidak ada ruangan apapun—gudang rahasia, laboratorium rahasia, atau ruangan lain yang serba-rahasia seperti yang kalian ekspektasikan.

Si bapak kunyuk satu ini!

"Kalian baru saja meledakkan alat detektor penyusup ruangan ini," suara menyebalkan itu kembali bicara. "Ruangan ini didesain untuk mengelabui penyusup siapapun yang hendak mencari sesuatu disini. Kalian mungkin sempat heran, bagaimana bisa ada ruangan kosong yang ditinggalkan di antara banyaknya ruang yang bisa dibilang, lumayan menyesakkan."

Yah, yah. Aku tidak peduli soal itu!

Aku masih menatapnya tajam.

"Ruangan ini hanya untuk pengalihan saja,"

"DARIMANA SAJA KAU?!" Ny. Forrest bertanya dengan lantang. Ayahku—ah, maksudnya si pria menjijikkan ini otomatis menoleh ke Ny. Forrest. Cengkeraman tangan nya di leherku dilonggarkan sedikit.

Oh tidak.
Ini tidak bagus.

"Aku? Yah, daritadi menonton permainan kalian sih,"

Ny. Forrest mengamuk. "Katakan dengan benar! Kau da-ri-ma-na?!"

Sky Will EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang