Damnit!
Sungguh, aku tak dapat berkutik saat ini. Berusaha keras otakku bekerja, mencari jawaban staging tumor berdasarkan pertanyaan yang dilontarkan Ny. Forrest. Jangankan diagnosa, spekulasi saja aku tidak dapat menemukannya! Lantas, apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak mungkin kan, bila aku bertindak curang; membuka sistem silver ball dan menghidupkan jaringan internet disana?
Mera berbisik. "Serr, kau tahu jawabannya?"
Ssst, diam dulu! Aku sedang berpikir. Aku mengingat-ingat e-book yang kubaca, siapa tahu ada informasi mengenai tumor payudara. Nihil, aku tidak membaca materi tersebut, aku hanya membuka materi penyakit mata, hidung, kulit, jantung, penyempitan saluran darah, telinga, mulut, malaria, hampir semuanya terkecuali bagian reproduksi.
Aku masih belum menyerah! Aku pasti bisa mendapatkan jawabannya!
"Mom, itu kan pertanyaan khusus dokter bedah? Serrena kan hanya menjadi dokter magang? Berikan keringanan sedikit untuk Serrena, mom. Mungkin dia memang berbakat menjadi dokter bedah kelak, tapi tidak untuk sekarang," Mera berucap tegas namun lembut. Ya, yang dikatakan Mera itu benar. Ini pertanyaan yang sudah keterlaluan, bahkan aku yakin dokter magang yang ada disini belum pernah disodorkan pertanyaan semacam ini!
Ny. Forrest licik. Ia memberikan pertanyaan khusus untuk dokter bedah, bukan dokter magang!
"Honey, bukankah kamu yang bilang sendiri bahwa ia anak yang pintar? Biarkan saja ia bergelut dengan ilmu yang didapatkannya itu. Kita lihat, apakah kepintaran yang kamu damba-dambakan itu memang pantas untuknya?" Alis Mera bertaut, dahinya berkerut.
"Mom tidak adil! Bahkan Dr. Ezra yang baru saja menjadi dokter magang lima hari yang lalu tidak diberikan pertanyaan dengan tingkat kesulitan seperti ini, bahkan ia masih mahasiswa! Mom pasti iri dengan Serrena, kan? Mom--"
"Sudahlah, Mera. Aku pasti bisa menjawabnya." Kutepuk pundak Mera sekali, dia memandangku khawatir.
"Bagaimana, Serr? Bagai--"
Melalui jendela kaca berbentuk persegi panjang di ruangan ini, aku bisa melihat satu gelegar petir biru yang menyambar salah satu rumah penduduk, sehingga menyebabkan bunyi ledakan. DUARR! Mera refleks menjerit, Ny. Forrest menyumpah tidak jelas. Dahiku mengernyit bingung, karena aku tahu petir tadi bukanlah petir biasa.
Apa arwah ibuku ada disini?
Panjang umur. Pas sekali wanita iblis itu muncul di hadapanku, berdiri menyeringai di samping Ny. Forrest.
Ny. Forrest seketika berteriak liar. "Honey, kamu harus menyingkirnya!"
Ledakan rumah yang tadinya terkena strike petir biru semakin meledak! Apinya membumbung tinggi, hampir menutupi seluruh bagian langit angkasa Berlin. Aku berdecak kagum sekaligus takut---hanya satu rumah yang terbakar namun ledakannya begitu dahsyat???
Mera mengernyit bingung. "Menyingkir siapa, mom?"
"Gadis ini," Ny. Forrest menunjukku dengan tatapan nyalang. "Dia berbahaya, honey. Cepat singkirkan dia!"
Mera semakin tidak mengerti, terlebih lagi ditekan oleh rasa panik dari ibunya dan keadaan di luar. "Berbahaya apanya? Astaga, mom! Jangan pingsan!!"
Mera segera menahan tubuh ibunya, mulut Ny. Forrest megap-megap layaknya manusia tenggelam di perairan yang dalam. Wanita iblis itu menatap Ny. Forrest dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kenapa arwah ibuku datang disaat seperti ini? Apa ia tidak mengizinkanku untuk menjadi dokter magang, sehingga menggangguku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Will End
Teen Fiction"Jangan memaksakan aku menjadi kalian, karena aku, bukan kalian," Ketika kendaraan menyemaraki tanah Klakson-klakson berdengung dibawa haluan udara Lampu-lampu kota menjadi bintang Disitulah aku berdiri Menatap langit dengan tatapan kosong Indahnya...