BAB 17

149 9 0
                                    

Renata tergeloncak kaget ketika masuk ke toilet, tangannya tiba-tiba ditarik seseorang kuat dan kasar.

"Kak Milka."

"Dasar jalang, cabean murahan banget lo!" kata Milka. Dua cewek di belakang Milka tertawa mengejek, terlihat puas melihat Renata terdorong kasar ke belakang.

"Kak, ini ada apa sebenarnya?" tanya Renata bingung.

"Jangan sok berwajah dua. Lo kasih apa pada Indra sampai Indra nggak lepas natap ke lo pas di kantin kemarin?"

Renata bingung, ada apa sebenarnya ini? Padahal Indra dengannya tidak akrab atau pun mempunyai hubungan spesial.

"Kak Milka, apa maksud Kakak? Aku gak ngerti ini kenapa Kakak datang marah-marah ke aku." Renata butuh penjelasan kenapa Milka tiba-tiba datang dan langsung mendorong kasar tubuhnya dan kemudian mencecarnya.

Milka tertawa pelan sambil menatap Renata dengan tidak suka. "Jangan sok polos. Topeng lo udah gue tahu. Lo kasih tubuh lo ke Indra, kan? Benarkan tebakkan gue?"

Tak terima atas kata kasar itu, layangan tangan Renata tepat mengarah ke pipi kanan Milka.

"Kalau Kakak suka pada Kak Indra, kenapa gak bilang langsung sama orangnya dan suruh jauhi aku. Aku juga tidak suka menjadi orang yang menimbulkan masalah untuk orang lain."

"Berani sekali lo nampar wajah gue?! Tangan lo itu kotor dasar jablai!!!" Milka menarik rambut Renata dengan kasar, lalu Milka mendorong kembali Renata ke belakang dengan kasar.

"Lo sekali lagi muncul di hadapan Indra, hidup lo gak akan tenang. Gue bisa lebih kasar dari ini jalang murahan!!!" ucap Milka menghakimi.

Renata menangis seorang diri di dalam toilet.

***

Sampai jam pelajaran terakhir Renata tidak kembali di dalam kelas. Karina dan Bianca menjadi cemas.

Karina sudah 25 kali menelepon Renata tapi ponselnya tidak ada jawaban sama sekali.

"Gimana Na? Diangkat gak sama Renata?" Bianca bertanya.

Karina menggeleng pelan. "Belum ada respon dari Rena, Bee. Gimana nih."

Karina menjadi cemas. Sejak di telepon, Renata tidak menjawab panggilan Karina. Hari sudah mau menjelang malam.

"Kita mencar saja. Mudah-mudahan kita bisa ketemu Renata," kata Bianca.

Karina setuju dengan saran Bianca, cukup alternatif mencari Renata. Karina dan Bianca membagi dua arah, Karina ke arah barat Bianca ke arah timur.

Matahari sore sudah mulai redup, tetapi Indra masih saja di rooftop belakang gedung olahraga. Seharian Indra hanya menghabiskan waktunya di tempat itu, bermain basket dan mendapat three point.

Matahari semakin redup, Indra memutuskan bangun dari tidur dan menghentikan musik yang berputar pada ponsel. Derap langkah kaki Indra begitu pelan sampai hanya Indra yang bisa mendengar langkah kaki itu.

Di tempat tidak jauh dari tempat Indra melangkah, Indra mendengar suara isakkan seseorang.

"Sekolah ini bukan bekas kuburan, kan?" gumam Indra.

Indra melanjutkan menelusuri koridor yang ada suara isakkan tersebut.

Indra mendekati perempuan itu.

Indra mengenal pemilik punggung itu.

"Hei ... kenapa di sini?" tanya Indra lembut.

Perempuan itu menoleh dan menyeka sesuatu ke wajah memakai punggung tangan.

"Kak Indra," jawabnya pelan setelah menyeka wajah bekas air mata.

"Kenapa lo nangis di sini sendirian? Sesuatu terjadi pada lo?" tanya Indra auranya berupa dingin.

'Please ... jujur kali ini Renata,' batin Indra.

"Aku tidak apa-apa. Permisi." Renata segera melangkah pergi dari hadapan Indra.

Namun Renata kalah cepat dari Indra. Tangan Renata di raih cepat oleh Indra.

"Ikut gue."

"Kita mau ke mana?"

"Nanti lo akan tahu."

"Tapi tolong jangan mencengkeram tangan aku kuat. Sakit."

Sejenak, Indra menoleh dan menatap Renata lalu menatap tangan Renata. Ia melembutkan pengangannya pada tangan Renata.

"Ini di lapangan sepak bola."

"Gue tahu."

"Kita mau ngapain sih?"

"Katakan. Kenapa lo bisa nangis di sini sendirian?" tanya Indra yang kedua kalinya.

Renata membalikkan badan lalu menatap Indra.

"Aku tidak nangis dan tolong lepasin tanganku."

"Jawab Rena! Kenapa masih pura-pura kalau enggak terjadi apa-apa sama lo?" Indra menatap tajam ke mata cokelat Renata. Gadis itu bersikeras tidak ingin mengatakan yang sejujurnya. "Siapa yang buat lo nangis kayak tadi?"

Suara Indra tiba-tiba menegas, setengah nada suara pria itu terdengar khwatir dan Renata tersenyum tipis seraya menatap mata pria itu dan membalas kata-kata pria itu tanpa ragu, "Bukankah aku sudah katakan, aku baik-baik saja. Mata aku kelilipan makanya aku nangis."

"Lo tidak pernah berubah. Gue tahu lo baru saja nangis. Lo gak mau orang-orang tahu lo nangis. Lo tidak ingin membebani mereka dengan masalah lo." Indra kemudian melepas cengkeraman tangannya.

Renata mengernyit.

"Ucapan tadi—"

Indra cepat memotong ucapan Renata, "Duduklah sebentar."

Di bawah pohon terdapat tempat duduk, tangan Indra menepuk tempat duduk itu, menyuruh Renata duduk.

"Kak, jangan potong ucapan aku. Katakan bagaimana Kakak tahu kata-kata yang tadi?" Renata mengulang kembali pertanyaannya.

"Dari mana gue tahu itu bukan urusan penting saat ini." Indra berkata dengan tatapan mata dingin, "Satu lagi, tidak semua pertanyaan harus dijawab."

Pandangan Indra mulai mengarah ke depan.

Renata menyerah mencari jawaban atas perkataan Indra tadi. Indra terlalu keras kepala untuk sekarang.

"Maaf Kak. Aku harus pergi." Renata mulai melangkah kecil meninggalkan Indra.

"Padahal gue berharap lo mau membagi kesedihan lo," kata Indra. Suara pemuda itu berserak. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AFFAIR LIEFDE | Tchs #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang