Erry membuka mata dan mendapati dirinya berada di sebuah tempat gelap. Ia bangun, menolehkan kepala pada teman satu timnya. Minggu ketiga simulasi kali ini ia berada di tim Putih bersama keempat rekannya yaitu Dave, Astrid, Glenn, dan Vio. Di hadapan mereka terdapat sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Pintu itu berwarna merah dengan satu lampu di atasnya, menjadikan penerangan di sana sangat minim. Di samping pintu itu berdiri robot putih yang membawa kotak misi. Di sebelahnya terletak bendera SI di atas sebuah kotak besar yang mereka asumsikan berisi senjata.
"Hei, ayo!" ajak Dave. Ia membantu Erry berdiri, lalu beranjak menghampiri robot putih. Robot itu menyerahkan kotak misi pada Glenn.
"Berhati-hatilah dengan bayanganmu, dan temukan bola emas yang tersembunyi."
Glenn menelan ludah. "Uh ... "
"Semoga berhasil." Hanya itu yang diucapkan robot putih dengan suara dinginnya sebelum akhirnya benda itu menghilang dibalik kegelapan.
Tim Putih saling pandang selama beberapa saat. Kengerian mendadak merayapi punggung mereka.
"Apa kita harus masuk, atau bolanya ada di sini?" bisik Vio.
"Sepertinya di dalam," sahut Astrid.
Dave membuka kotak besar di dekat mereka. Ia memandang timnya sekilas, lalu membagikan senjata yang ada di sana.
"Um ... aku ... tidak usah," tolak Erry saat Glenn menyodorinya pistol. Mereka menautkan alis.
"Kau yakin?" tanya Glenn. Erry mengangguk.
"Percaya padaku," tuturnya. Ia mengepalkan tangannya.
"Baiklah. Ayo masuk!"
Glenn membuka pintu perlahan. Pintu itu berderik sangat nyaring hingga terbuka lebar.
"Oh my ... "
Mereka diam terkejut. Hamparan infinity mirror dan ruangan serba merah menyambut mereka. Mereka melangkah masuk perlahan. Pintu tadi menutup dengan sendirinya. Mereka menoleh ke belakang, lalu ke depan lagi.
"Harus ke mana kita?" ujar Astrid yang saling bergandengan dengan Vio.
"Aku ... aku tidak tahu," sahut Glenn. Ia memandang pantulan diri mereka di cermin satu ke yang lainnya.
"Teman-teman, kalian dengar itu?" bisik Erry. Semuanya terdiam memasang indera dengan baik.
"Suara apa?" bisik Vio.
"Shh," sela Erry cepat. Terdengar suara mesin di kejauhan. Lebih tepatnya suara desingan khas robot—yang semakin mendekat.
"Apa itu?" desis Dave. Suara itu terus mendekat, berlari ke arah mereka. Erry yang berdiri paling dekat dengan asal suara itu memundurkan langkahnya. Keempat timnya mendekat pada punggung Erry, mengintip dari baliknya.
Suara itu semakin dekat dan terus dekat, sampai tiba-tiba berhenti tepat di hadapan mereka—Erry. Gadis itu mendadak kaku. Jika tubuhnya masih lengkap, jantungnya sudah berdegup tak karuan saat ini. Mereka merasakan hawa dingin yang tak biasa selama beberapa saat, lalu tiba-tiba saja tubuh Erry terlempar cukup jauh hingga memecahkan kaca-kaca. Keempat timnya sontak berlari kalang kabut. Mereka berlari bersama menghindari sesuatu yang tak kelihatan. Suara robot tadi sudah tak terdengar. Mereka berlari menghampiri Erry dan membantunya bangun.
"Kau tak apa?"
"Apa itu tadi?"
"Benar-benar gila! Erry, kau baik-baik saja?"
Erry perlahan bangkit dengan bantuan teman-temannya. "Aku tak apa. Terima kasih."
"Apa yang kita hadapi ini sebenarnya?" tutur Glenn.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTREPID [FINISHED]
Science FictionBadai hari itu memporakporandakan Gaia-79. Ernest harus kehilangan orang tuanya dan mengalami sakit parah sebelum akhirnya SI membawanya. SI memberi dan melatih tubuh baru Ernest, berupa AI yang dirancang semirip mungkin dengan wajah lamanya. Hingga...