Faira memandang lekat bangunan tingkat dua yang berdiri kokoh di depannya. Sekolah swasta paling populer di Jakarta, sekaligus tempat incaran anak orang kaya. Biaya yang cukup menguras isi dompet itu sepadan dengan segala fasilitas yang disediakan. Alumni dari sekolah SMA Nagaswara pun terkenal mudah dalam mencari pekerjaan. Salah satu alasan kenapa Faira mau jauh–jauh menuntut ilmu di sana.
Masih diam mengamati segala keriuhan di sekitaran parkir sekolah, panggilan masuk mengalihkan atensi Faira.
“Halo?”
“....”
“Oke.”
Faira bergegas keluar dari mobil merahnya setelah menutup panggilan. Kedua sahabatnya ternyata sudah datang dan tepat setelah tubuhnya keluar sepenuhnya, netranya menangkap sosok dua gadis yang jauh lebih tinggi darinya tengah duduk di atas motor matic, melambaikan tangan ke arahnya.
“Lo, udah dari tadi?” tanya si gadis berambut sebahu yang tengah mengunyah permen karet.
“Lumayan,” tatapan Faira berpindah ke arah gadis satunya yang tampak sibuk menata rambut hitam panjangnya.
“Ya ampun, rambut gue! Uci, tanggung jawab nggak, lo!”
“Apa, sih? lebay deh. Lagian udah tahu naik motor, rambut kunti gitu kenapa malah digerai coba?”
Shasa yang tadinya sibuk menata rambut menatap kesal ke arah Uci, “sialan! rambut kece badai gini dibilang rambut kunti. Emang elo, Dora!”
“Mana ada! Model ini lagi ngetrend tahu!”
Faira mendengkus pelan sebelum menginterupsi perdebatan unfaedah sahabatnya yang tak kunjung usai.
“Kalian kalo mau adu mulut, mending nggak usah sekolah. Noh, lakuin di rumah sampe puas.”
Faira meninggalkan mereka di parkiran. Memilih masuk kelas secepatnya agar bisa memilih bangku dengan posisi yang bagus.
“Ra! Faira! Tunggu, woy!”
Masa bodoh dengan suara grasak–grusuk di belakangnya yang jujur saja bikin malu, Faira benar–benar ingin berpura–pura tidak mengenal keduanya yang dengan tak tahu malunya masih menyempatkan diri meributkan hal tidak penting, mengomentari penampilan siswi lain yang dianggap kelewat menor atau sekedar tebar pesona pada siswa berparas rupawan.
Faira menyesal membiarkan mereka mengikutinya bersekolah di sini. Merutuki diri sendiri dalam hati, karena hanya kedua gadis absurd itu yang benar–benar selalu bersamanya melintasi ruang dan waktu.
.
.
.
Hari pertama sekolah biasanya masih diisi dengan pengenalan lingkungan sekolah serta teman–teman yang akan menjadi partner perjuangan menggapai impian. Proses belajar mengajar belum akan diterapkan seperti hari biasanya. Pun yang terjadi di kelas X⁴ yang konon katanya adalah kelas unggulan untuk tingkat kelas X. Dan sialnya, Faira serta kedua cecunguknya disatukan di kelas yang sama.
“Lo kesel karena kita sekelas?”
“Parah benget lo, Ra. Yang lain malah seneng bisa sekelas sama bestienya, lah elo? Udah kayak nahan boker seminggu tahu nggak tuh muka!”
Faira menatap tajam Shasa dan Uci bergantian. Masih tidak sadar bahwa mereka benar–benar merusak rencana indahnya di hari pertama sekolah. Sudah terkesan galak karena marah–marah sepanjang koridor, ditambah lagi kebagian bangku paling belakang. Faira kesal setengah mampus!
“Gue udah ngincer bangku paling depan atau setidaknya deret kedua ya, dari semalem. Lah, ini?” ujar Faira menahan kesal. “gue nggak bisa liat papan tulis, kampret!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...