Bab 14 - Lima Sekawan

42 1 0
                                    

[Author P.O.V]

Sebelumnya, Sabila meminta Manta untuk pulang ke rumah karena takut kalau saja lelaki itu terlambat masuk sekolah di siang hari. Akhirnya, teman lamanya itu memutuskan untuk pulang ke rumah meninggalkan Sabila, dan gadis itupun memutuskan untuk tidur sambil menunggu orang lain yang datang menjenguknya. Sedangkan Radian dan Rizqi sudah berhasil mendapat tumpangan dari motor ayahnya Rizqi dan siap untuk pergi menjenguk Sabila ke klinik ibunya Hani. Namun, kedua lelaki itu meminta Syifa dan Hani yang sudah siap dengan sepeda Hani untuk mendahului mereka. Akhirnya, kedua gadis itu menuntun jalan menuju klinik yang dimaksud dan motor itu mengikuti mereka dari belakang. Setelah sampai di klinik ibunya Hani, gadis itu langsung saja menunjukkan letak kamarnya Sabila, dan tak disangka, ada sosok penjahat yang berhasil merekam gambar Sabila dan kawan-kawan.

Akankah semuanya akan berakhir atau mereka semua selamat dari ‘setan’ yang nyata?

***

Meskipun keempat teman Sabila sudah mulai lega, Rizqi masih tak percaya akan pernyataan dari Sabila. Lantas saja, dia bertanya lalu berujar lirih kepada gadis itu, “Kamu yakin kalau kamu baik-baik saja? Aku takut melihat kedua matamu itu, Sab ....”

Sabila pun terkekeh geli, lalu dia membalas, “Iya ah, aku baik-baik saja. Kalau kamu merasa takut ketika melihat kedua mataku, lebih baik jangan sekali-kali melihatnya. Aku takutnya menular ke kalian.”

“Eh? Penyakit mata bisa menular, Sab?!” seru Radian terkejut bukan main, ketika mendengar suatu kabar yang awalnya asing bagi dirinya, bahwa penyakit mata bisa menular ke mata orang lain.

Lantas saja, Sabila lagi-lagi terkekeh geli. Setelah berhenti tertawa, dia pun menjawab, “Bisa, Rad, dan aku mendengar kabar ini dari Hani.” Dia mengatakan demikian sambil menunjuk temannya sendiri, Hani.

Hani yang tak terima ketika “dituduh” Sabila itu langsung menyahut, “Eh, kok aku yang salah? Ada apa ini, Sab?” Gadis itu pura-pura tak tahu ketika dituduh. Langsung saja Sabila membalas, “Kan kamu yang memberitahukan padaku kalau penyakit mata itu bisa menular ke yang lain.”

“Aduh ... astaghfirullah .... itukan setahuku, Sayang. Bisa saja pernyataanku salah besar, soalnya aku tak mencari buktinya di sumber manapun, hehehe,” ujar Hani seraya terkekeh pelan. Sabila pun langsung memanyunkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di dada, seraya berkata, “Pembohong besar, Han.”

Lantas, gelak tawa dari Radian, Rizqi, dan Syifa keluar secara spontan dari mulut masing-masing. Suasana di dalam ruangan Sabila itu terasa unsur humornya, padahal sebenarnya suasananya dari tadi antara tegang atau sejenisnya.

Hingga pada beberapa saat kemudian, gelak tawa masih terdengar oleh Sabila dan Hani, namun pada saat itu juga, satu di antara teman yang tersisa itu melerai sedikit pertengkaran yang dibuat oleh Hani dan Sabila.

“Ah kalian. Kenapa berantem begitu? Kalian ini tak mengerti etika di rumah sakit ya,” ujar Radian yang sedikit meremehkan kedua gadis yang hubungannya sudah semakin erat, mungkin lebih dari sekedar teman saja.

Hani pun langsung menyahut, “Suaramu itu dijaga, Rad. Kalau tak, bisa-bisa saja kau juga tak punya etika ketika berada di tempat umum. Cih.” Sementara Sabila langsung mengangguk setuju karena pernyataan tersebut. Lantas, suasana pun seketika hening ketika ponselnya si Rizqi berdering.

Seketika itulah keempat temannya Rizqi itupun mendengar suara itu dengan saksama, lalu tak lama kemudian, Sabila berseru, “Riz, itu ada telepon masuk tuh! Coba angkat dulu!” Rizqi langsung mengambil ponselnya dan melihat layar ponselnya yang sudah menyala, berisi panggilan masuk dari ayahnya sendiri. “Kamu benar, Sab. Afwan ya, aku harus keluar dulu untuk mengangkat telepon,” ujar Rizqi lirih.

Sabilillah: HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang