Bab 25 - Lusa Sebelum Perang

14 0 0
                                    

[Author P.O.V]

Sebelumnya, Sabila masih mengeluhkan kondisi kedua matanya yang sakit. Dia sendiri sudah beristirahat di UKS. Namun, keesokan harinya, Sabila sudah terlihat membaik. Gadis itu sudah berbincang-bincang dengan Rizqi seperti biasanya. Lalu setelah bu Fiani datang ke mushola itu, mereka berdua sudah bisa berlatih tilawah. Tetapi tak lama kemudian, Sabila kembali merasakan perih di kedua matanya, dan Rizqi pun segera pergi ke UKS untuk meminta obat mata. Namun yang mengobati gadis itu bukanlah Rizqi, tetapi bu Fiani, karena kodratnya yang bukan muhrim untuk Sabila. Lalu di sisi lain, Radian merasa jenuh ketika harus membicarakan soal Rizqi dan Sabila terus-menerus. Dia malah membicarakan permainan Dragon Island dan mengajak Ivan untuk memainkan permainan itu bersama-sama. Lantas, Syifa dan Hani langsung mundur dari kelompok.

Lalu, kisah ini terbawa lagi ke keesokan harinya. Mengingat cerita ini akan berakhir dalam beberapa bab ke depan. Apakah kisah selanjutnya?

***

Keesokan harinya, Sabila dan Rizqi kedatangan seorang tahfidz Qur’an yang sudah mumpuni di bidangnya dalam membaca Al-Qur’an. Dia sudah menghafalkan setidaknya 5 juz untuk sekarang. Diketahui tahfidz itu bernama bang Rahman, seorang mahasiswa di suatu universitas ternama di luar negeri—khususnya negeri Arab.

Bang Rahman hadir untuk menyempurnakan bacaan Rizqi dan Sabila ketika menemukan kesalahan dalam pembacaan Al-Qur’an oleh kedua peserta lomba itu. Usianya sekitar 20 tahun, dan beliau datang karena diundang oleh bu Fiani dan sudah mendapat izin dari sekolah.

“Anak-anak, kenalkan ini bang Rahman, alumni SMP kita juga. Kini dia sedang menempuh pendidikan dan saat ini dia bercita-cita sebagai seorang ustadz. Rahman, ini Sabila dan Rizqi. Mereka mau mengikuti lomba tilawah dan butuh sedikit bimbingan darimu, bagaimana? Apakah kamu sanggup melakukannya, Rahman?”

Bu Fiani memperkenalkan bang Rahman kepada Sabila dan Rizqi, begitupun sebaliknya. Setelah selesai, Rizqi langsung berkata, “Selamat datang di sekolah kami, Bang. Nama saya Rizqi, selaku siswa di SMP Negeri ini, dan ini teman saya, Sabila.” Dia mengatakan demikian sambil menunjuk Sabila yang kini berada di sebelahnya, namun terpisah oleh hijab yang dari dulu sudah terpasang di antara shaf ikhwan dan akhwat.

Rahman tersenyum manis kepada kedua muridnya bu Fiani itu, lalu senyuman itu menghilang secara cepat, dan dia berkata, “Terima kasih sudah mempercayakan saya untuk datang ke sini demi memberikan sedikit pengalaman saya kepada kalian berdua. Namun sebelumnya, jangan terlalu tegang atau kaku sama saya. Mau pakai aku-kau juga boleh kok.”

“Tak usah, Bang. Nanti kami dikira tak sopan pada Abang,” ujar Sabila lirih, namun direspon dengan gelengan kepala oleh mahasiswa dari luar negeri itu.

“Tak apa, Dik. Santai saja. Saya gak suka tegang-tegang amat. Bawa santai saja. Anggap saja kita adalah rekan, karena sama-sama belajar tentang tilawah, ‘kan?” Lantas, Sabila dan Rizqi hanya mengangguk ketika mendengar kata-kata barusan.

Bu Fiani yang menyimak pembicaraan itu hanya bisa tersenyum manis. Beliau merasa bahwa usahanya mendatangkan guru tilawah yang mengasyikkan itu sudah berhasil, dan buktinya sudah beliau lihat sebelumnya.

“Baiklah, kalian berlatih dengan Bang Rahman ya. Ibu mau mengajar dulu di kelas,” ujar guru agama yang langsung beranjak pergi meninggalkan mushola di tengah-tengah lapangan sekolah SMP tersebut.

Tinggallah Bang Rahman, Sabila, dan Rizqi. Sabila sendiri merasa kurang pede karena tersisa dua cowok di dekatnya. Meskipun demikian, gadis itu berusaha untuk tetap tegar menghadapinya. Karena di sinilah, calon peserta Tilawah dari sekolahnya hanya dua orang, yaitu Rizqi dan dirinya sendiri.

Gadis itu percaya dengan bang Rahman, bahwa beliau akan membimbing mereka dengan usahanya sendiri, yang terbaik.

***

Sabilillah: HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang