Bab 22 - Nasib Kompetisi

32 0 0
                                    

[Author P.O.V]

Sebelumnya, Manta, Sabila, dan Rizqi telah beradu argumen dengan seorang gadis asing yang merupakan temannya Rizqi. Gadis yang bernama Sya—yang didengar Sabila itu—telah membuat ketiga orang itu menggelengkan kepala atas sikap-sikap buruknya. Sudah beberapa kali Sabila menasehati Sya namun gadis asing itu tak menghiraukan nasehat tersebut. Namun beberapa saat kemudian, akhirnya Sya kalah dari Manta, Sabila, dan Rizqi. Satu orang kalah melawan tiga orang. Sementara itu di sisi lain, Syifa dan Hani sedang membicarakan mengenai biang masalah dari permasalahan 5 sekawan yang belum lama ini dibangun. Hani menyalahkan Sabila, namun Syifa menyalahkan Radian. Lantas, mereka berdua ingin mempersatukan pendapat, dan akhirnya mereka saling berpelukan satu sama lain, saling melepas beban.

Beberapa saat kemudian, Sabila mendapat panggilan masuk, dan dia pun mengangkatnya. Siapakah yang menelepon Sabila? Bagaimana nasib perlombaan itu? Ini dia kelanjutannya.

***

“Halo?”

Assalamu’alaikum. Di sini bersama Nak Sabila, ya?”

Sabila terkejut ketika yang didengarnya adalah suara yang lembut dan begitu dewasa. Siapa lagi kalau bukan bu Fiani, guru Agamanya sendiri? Lantas, Sabila segera menjawab, “I ... iya Bu. Saya sendiri. Ada apa?”

“Ibu mau minta waktu kamu sebentar boleh? Kita akan membahas mengenai perlombaan yang akan diadakan beberapa hari ke depan. Jangan lupa ajak si Rizqi, ya.”

“Di ... di ... di mana, Bu?” tanya Sabila terbata-bata.

“Nanti Ibu kirim pesan padamu, berisi alamat rumah Ibu. Jangan lupa pergi ke sana, ajak si Rizqi, ya. Wassalamu’alaikum,” ujar bu Fiani hingga pada akhirnya sambungan telepon pun terputus. Sabila yang mendengar suara putusnya sambungan itupun tak dapat berkata apa-apa lagi.

Akhirnya, Sabila menunggu pesan dari bu Fiani, dan kembali ke Sya, Rizqi, dan Manta. Dilihatnya bahwa mereka bertiga itu kaku dalam memandang dirinya. Maka dari itu, Sabila bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian memandangku? Apa yang terjadi pada diriku?”

Lantas, Manta dan Rizqi langsung tersadar dari sifat kaku mereka dalam memandang seorang gadis. Rizqi—satu di antara keduanya—menjawab, “Afwan, Sab. Aku tak tahu mengapa bisa memandangmu seperti itu.” Seketika itu pula, Sabila langsung melipat kedua tangannya di dada dan membuang mukanya ke belakang.

“Apa yang terjadi di telepon, Sab?” tanya Manta kemudian, ingin tahu tentang apa yang terjadi pada gadis itu di telepon.

Maka, Sabila tak lagi membuang mukanya, melainkan menghadapkan lagi mukanya ke arah ketiga orang lainnya. Dia menghela napas beratnya sejenak, lalu menjawab pertanyaan Manta. “Bu Fiani meneleponku. Nanti, beliau memintaku ke rumahnya, dan beliau juga mengajak Rizqi. Sekian dan terima kasih,” jawab Sabila singkat, padat, dan jelas.

“A-apa? Bu Fiani memintaku juga?!” seru Rizqi, saking terkejutnya karena ketidakpercayaannya akan kata-kata dari Sabila. Gadis itupun hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Ya Allah!”

Merasa tak nyaman bersama Rizqi yang mulai menorehkan lagi kisahnya bersama Sabila, Sya akhirnya berpamitan untuk pergi karena tak sanggup lagi melihat temannya dan gadis yang dikiranya asing di hadapannya. “Ya sudah, kalau begitu. Aku pergi dulu, sampai nanti,” pamit Sya dan akhirnya dia berlalu dari hadapan Rizqi, Manta, dan Sabila. Mereka bertiga hanya melongo melihat punggung Sya yang semakin menjauh.

Tetapi ... sekarang beralih ke obrolan tentang bu Fiani—antara Sabila dan Rizqi.

Tiba-tiba ponsel Sabila berbunyi, lagi. Langsung saja gadis itu membuka layar ponselnya, dan ternyata memang ada pesan yang masuk dari guru Agama Islam itu.

Sabilillah: HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang