"Kenapa phi Chittaphon?"
Suara itu terdengar menuntut, Lisa menatap lurus manik bulat pemuda Thailand dihadapannya. Tak ada getaran dalam suara sang gadis, ia membutuhkan jawaban dan pemuda dihadapannya harus menguraikan apa yang ingin ia dengar.
Lisa tidak peduli meskipun ekspresi Ten begitu panik, ia tak peduli meskipun tangannya yang mencengkeram erat pergelangan si pemuda berusaha ditampik berkali-kali. Para staf sedang membereskan lokasi syuting di dalam cafe, sedang keduanya masih berdiri dibagian luar pintu cafe.
Bersyukurlah karena diluar pintu cafe masih terdapat koridor sebelum menuju pintu keluar, hingga tak memungkinkan bagi orang luar untuk melihat keduanya.
"Lepaskan aku... Jangan membuat orang lain salah paham!"
"Salah paham... Salah paham yang seperti apa phi Chitta? Salah paham jika kita memiliki hubungan? Salah mengira jika kita berkencan? Jika faktanya seperti itu, haruskah kau memperlakukanku seperti ini?! Ada apa dengan-"
"Berhenti memanggilku Chittaphon!!! Ten! Ten!! TEN!!!". Pemuda itu menghela nafas, tanpa sadar suaranya meninggi. Ia menghentakkan tangan Lisa dan memunggunginya, Ten menunduk. "Namaku Ten, panggil aku Ten. Aku muak mendengarmu memanggilku seperti itu"
"Memangnya kenapa huh?". Manik Lisa bergetar, air mata sialannya terjatuh begitu saja. Pandangannya buram, nyaris tak mengenali punggung lebar yang dulu selalu tampak hangat. Sekarang, punggung itu tak lebih dari tebing es yang menjulang dihadapannya.
Dingin dan jauh, tak tersentuh.
"Kenapa... Kau berubah...?"
Suaranya mengecil diakhir, gadis itu seperti kehilangan seluruh tenaganya. Bagaimana mungkin kekasih yang dulu begitu dicintainya, yang dikenalinya lebih dari apapun. Kini seolah ada jurang besar diantara keduanya, membuat pemuda itu menjadi orang asing yang hanya dapat ia amati dari tepi jurang.
"Akan kujelaskan, tapi tidak sekarang"
"Mungkin nanti"
Lisa sudah tak perduli pada kalimat yang kekasihnya ucapkan sebelum menghilang dibalik pintu cafe, masuk kembali ke lokasi syuting. Sementara gadis itu menunduk dalam diam, menangkap wajahnya dalam telapak tangan sembari terisak pelan.
Ia terus begitu selama beberapa menit, hingga sang gadis mulai menghela nafas panjang. Tangannya hendak mengusap air mata saat sebuah sapu tangan terulur didepan wajahnya. Gadis itu mendongak, mendapati ekspresi keruh Jaehyun yang membuatnya menggigit bibir.
Tangan si gadis meraihnya tanpa berucap apapun, mengusap jejak air matanya dan tersenyum seperti orang bodoh.
"Apa aku... Memang harus kembali ke Thailand?"
Pemuda Jung tak menjawab, ia tahu bukan untuknya pertanyaan itu dilontarkan. Tangannya menepuk pelan kepala Lisa, gadis itu berdecih.
"Kau tak melihat apapun"
"Aku tahu". Pemuda itu menyahut. "Aku tidak melihat dan mendengar apapun, kita hanya bertemu di koridor dan kau terkena hembusan debu saat aku membuka pintu. Aku memberimu sapu tangan, dan kita masuk ke lokasi syuting bersama"
Skenario yang Bagus, saat akan melangkah Jaehyun berhenti sejenak. Ia menatap Lisa penuh arti, pandangannya seolah berkabut. "Satu lagi. Apapun yang terjadi, kuperingatkan kepadamu. Berhati-hatilah dengan Taeyong hyung, jika dapat hindari sebisa mungkin"
Gadis itu hanya diam, namun ia tau Jaehyun bersungguh-sungguh. Keduanya menghilang dibalik pintu kemudian.
Namun ada yang tertinggal disana, pemuda berambut silver yang menyeringai dibalik koridor menuju lantai atas. Maniknya memicing tajam, menatap lurus keluar jendela.

KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Say? [END]
FanfictionTentang Lisa, tentang Ten, tentang Taeyong. Lisa mencintai Ten, sangat. Saat pemuda itu meminta izinnya untuk pergi meraih mimpi, Lisa tak punya pilihan selain melepasnya. Namun Ten benar-benar lepas, selayaknya layangan yang putus. Lisa berusaha me...