TEN ||

1K 63 0
                                    

Bagian Sepuluh

Dhania langsung mendaratkan bokongnya ke kursi setelah menyapa Gemma dan Kirana.

"Woaaah! Gantungan kunci doraemon limited edition!!" Seru Kirana heboh.

"Hem, tadi aku juga mau bilang gitu. Eh, malah keduluan sama kamu, Na." tipikal Gemma yang suka ngeles kalau udah keduluan.

"Apaan sih, Gem. Basi tauk!" ledek Kirana.

"Biarin." balas Gemma tak terima.
"Eh, kalian beli ganci couple?"

Dhania menggeleng, "Aku di kasih Fathiyah."

Fathiyah tersenyum lebar, "Hem, bagus nggak?"

"Bagus sih, karena mahal dan limited edition." komentar Gemma. "Tapi, tetep. Masih bagusan EXO, BTS, Seventeen, NCT, Winner...." cerocos Gemma yang kemungkinan tidak akan selesai dimenit selanjutnya kalau dia sudah membahas mengenai boy band asal Negeri Gingseng tersebut.

"Gem, stop bentar deh," sela Fathiyah saat Gemma sibuk mengabsen boy band Korea.

"Apasih, bentar deh. Apalagi Na, nama boy band oppa-oppa gantengnya?" sahut Gemma.

Kirana melihat ke kiri atas, yang menandakan kalau dia sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Big Bang, Infini--- Eomeona! Ini ini.... Aku nggak bisa berkata-kata deh Gem, ini. Bagus banget. Parah." mata Kirana langsung berbinar saat disodori gantungan kunci wajah dari salah satu boy band yang mereka sebutkan tadi.

Gemma yang awalnya sibuk menghitung sudah berapa nama boy band yang dihitung, kini ikutan berdecak kagum saat Fathiyah menyodorkan gantungan kunci wajah oppa-oppa ganteng. Meski bukan limited edition, tetapi mereka cukup senang karena mendapatkan koleksi terbaru.

"Ommo! Ini, sumpah deh. Baguuus! Gue tarik kata-kata gue tadi yang bilang gantungan kunci kalian bagus." decak Gemma, yang menyebalkannya secara tidak langsung dia mengatakan  bahwa gantungan milik Dhania dan Fathiyah tidak bagus.

Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Guru jam pelajaran pertama mulai memasuki kelas, bu Soraya berjalan anggun melewati bangku murid-muridnya yang duduk manis, meski ada beberapa yang masih sibuk berkutat dengan tasnya atau sekedar membalas pesan dengan cara menyembunyikan smartphone di kolong meja.

"Selamat pagi," sapa wanita berjilbab merah maroon tersebut, sesaat setelah menaruh tumpukan buku tebal di meja.

"Pagiii buu," balas serempak murid satu kelas.

Bu Soraya mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Ada tugas?" tanyanya, sembari membolak-balik buku nilai.

Satu kelas saling berpandangan sebentar sebelum menjawab pertanyaan dari bu Soraya.

"Tidak ada, buu." jawab mereka kemudian.

"Baiklah, kalau tidak ada. Sekarang kalian buka buku paket halaman 100." perintah bu Soraya.

Dhania langsung menepuk jidatnya pelan sambil menggumam tak jelas saat mendengar perintah bu Soraya.

"Napa deh kamu?" ucap Gemma yang mendorong punggungnya dari belakang.

"Aku lupa nggak beli paket, Gemm! Mampus aku kali ini!" desis Dhania dengan sedikit menolehkan kepalanya ke belakang.

Gemma menggelengkan kepala sambil merem, seolah ia tidak bisa mentolerir lagi kelakuan Dhania yang kerap kali lupa atau lebih tepatnya jarang mau membeli buku paket yang tebal seperti bahasa Indonesia, dengan seribu alasan, satu misal, 'cuma dipakai sebentar aja, nanggung, bentar juga beli lagi.'

"Halwatuzahra?" suara merdu bu Soraya menyapa gendang telinga Dhania.

Tubuh Dhania langsung menegang saat dirinya dipanggil oleh guru bahasa Indonesia paling muda di SMAN 7 tersebut. Firasatnya mendadak tidak enak.
"Ya bu?" sahutnya akhirnya.

Dari balik kacamata perseginya bu Soraya melihat Dhania bergantian dengan buku paket yang beliau pegang. Sementara disisi lain, hati Dhania berdebar takut karena ia yakin akan segera mendapat hukuman entahlah apa kali ini, ia tidak tahu.

"Tolong bacakan, bacaan di halaman 100." perintahnya.

Ini adalah salah satu tidak enaknya masuk kelas ESC yang bangkunya ditata satu persatu. Tidak bisa menggeser buku paket milik teman untuk kebersamaan.

"Ma.. Maaf, bu. Saya belum membeli buku paket," ungkap Dhania jujur, dengan hati dag-dig-dug.

Bu Soraya memutar bola mata jengah, ia sudah hafal dengan kebiasaan muridnya yang mempunyai otak brilian namun kurang tertib itu, sejak kelas X, kebetulan ia mendapatkan kesempatan mengajar kelas aksel di dua kelas berturut-turut selama dua tahun ini.

Mungkin, dulu ia akan memberikan kelonggarkan bagi yang belum membeli buku paket, tetapi tidak untuk kali ini. Sudah terlalu sering.

"Kamu masih ingat kan, kalau kamu lupa membeli buku lagi dipertemuan kali ini, kamu akan mendapat hukuman apa?" ucap bu Soraya.

Dhania mengangguk, seraya merapikan buku-bukunya.

"Hal, sabar ya," bisik Fathiyah tak tega.

"Lagian sih, suka banget ngeremehin perintah guru. Lain kali ulangin lagi yaa!" lain halnya dengan Fathiyah yang memberikan kata turut berdukacita, Gemma malah mengoloknya. Namun, jujur saja Dhania lebih suka punya teman yang seperti Gemma, meskipun kata-katanya kasar tetapi dia sebenarnya tulus. Bukannya Dhania meragukan ketulusan Fathiyah juga sih, Fathiyah juga baik kok.

Selesai merapikan buku-bukunya, Dhania bersiap keluar dari kelas sambil membawa notebook kecil beserta ballpen karakter, pemberian tante Fenty.

"Kamu boleh ikut pelajaran saya, kalau sudah membeli buku paket ya Halwatuzahra!" susul bu Soraya.

Dhania hanya mengangguk samar, ia tidak yakin kalau buku tersebut masih ada di koperasi, pasalnya ia dengar saat teman-teman kembali dari sana minggu lalu, sudah habis.

"Bu, ijin ke toilet." Madani mengangkat tangannya tinggi.

Bu Soraya mengangguk, sembari mendengarkan Fathiyah membaca bacaan yang seharusnya dibaca oleh Dhania tadi.

"Fathiyah, kenapa berhenti?"

Fathiyah segera melanjutkan membacanya kembali, setelah menoleh sebentar pada Madani.


__________


"Halwa!"

"Iy-- Lho, kok... Kamu disini?" heran Dhania, sembari melihat wajah ngos-ngosan Madani.

"Ini buat kamu." di sodorkannya buku paket bahasa Indonesia bergambar kain batik itu pada Dhania.

"Bukannya di koperasi habis?"

"Masih ada, tapi di toko buku depan SMKN 6."

Dhania melongo, antara kaget dan kagum.
"Ma... Makasih banyak ya? Ini buat kamu." ucapnya seraya menyodorkan selembar sapu tangan hadiah dari channel radio favoritnya.

"Kalau gitu kamu ke kelas sekarang." katanya, masih sibuk mengatur pernapasannya.

Dhania segera beranjak dari duduknya, dan segera berlari kecil menuju kelas.


Bersambung

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang