EIGHT ||

1.2K 76 0
                                    

Bagian Delapan

"Assalamualaikum," ucap Madani saat sampai di depan rumahnya. Seusai Nuril berpamitan untuk langsung pulang.

"Waalaikumsalam," balas dari dalam rumah, bersamaan dengan bunyi pintu dibuka.

Madani menyalami wanita berdaster tersebut dengan sopan, lantas keduanya bersamaan masuk ke dalam.

"Kamu udah hubungi pak Derma?"

"Sudah, mbak."

"Terus gimana katanya, mengenai uang SPP kamu itu?"


"Dari Al-Qalam, Mad?" sela pria berambut ikal dari sofa, saat keduanya memasuki ruangan tengah secara bersamaan.

"Iya mas." angguk Madani, mengalihkan pandangannya pada pria berkaus oblong putih serta bersarung.

"Apa tadi materinya?"

"Emm, sikap seorang anak menasehati orang tua, mas."

Adam mengangguk-angguk, "Bagus materinya, kapan-kapan mas ikut ya kalau kajian. Mas juga pengen nambah-nambah ilmu agama,"

Madani mengangguk kaku, "Inshaa Allah mas. Ngomong-ngomong tumben mas Adam udah pulang jam segini, kafe siapa yang jaga?"

"Masmu libur hari ini," sahut Maya, wanita yang tadi menyambut kedatangannya. Ia duduk bersebelahan dengan Adam, mengambil alih remote control TV.

Adam menoleh pada Maya sejenak, lalu kembali menatap Madani, "Yaudah, kamu mandi sana gih, terus salat, lanjut makan." Katanya, sembari meneruskan kegiatan menonton TV.

Madani mengangguk patuh, seraya berjalan menuju kamarnya.


__________


Di dalam kamar, Madani segera menaruh tas, kemudian mengambil baju ganti di lemari dan handuk di kapstok. Sementara Madani mandi, suasana di depan TV mendadak menjadi tegang, bukan karena acara telenovela yang mereka tonton. Melainkan karena membicarakan sosok gerangan yang masih mandi di belakang sana.

"Sudah, jangan terlalu dipikirin, kamu cukup fokus aja sama promil kamu. Biar urusan ini mas yang pikirkan, ya?" Ujar Adam, berusaha menyakinkan Maya.

"Tapi mas, mana bisa aku nggak mikirin. Sementara uang tabungan kita semakin menipis, ibu juga nggak kirim-kirim uang selama dua bulan ini, untuk biaya kebutuhan Mamad. Kamu tahu sendiri, kebutuhannya lebih banyak, semenjak kelas dua belas ini. Bayar ini itu buat les lah buat apalah apalah." Maya menoleh pada Adam dengan tatapan kesal.

"Iya, aku ngerti. Mungkin pak Derma lagi sibuk dan ibu juga lagi usaha disana, kamu positif thinking aja ya?"

Mbak Maya menghela napas panjang, dadanya naik turun.

"Maya sayang, sudah ya? Mas ngerti kamu khawatir, kamu takut, tapi--"

"Kamu nggak ngerti mas! Buktinya, kalau kamu ngerti, kamu nggak akan bilang gitu aja! Kamu bilang ngerti biar masalahnya nggak panjang kan? Dan biar aku tenang. Nggak ngomel banyak kayak gini!" bentak Maya kesal.

Adam merengkuh tubuh Maya ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat, dengan sesekali ia kecup pucuk kepala wanita yang amat ia cintai itu.

"Maya... istriku sayang. Sudah, berhenti. Maafkan Mas, ya. Mas janji akan segera menyelesaikannya. Mas boleh minta tolong sama kamu?" bisiknya,

Maya mengangguk-angguk dalam dekapan hangat sang suami.

"Jangan ngomong apa-apa sama Madani soal masalah ini. Kasihan dia, nanti dia malah jadi nggak fokus sekolahnya. Biarin dia hidup seperti teman-temannya. Tertawa bersama, tanpa memikirkan beban hidup seperti ini."

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang