SEVEN ||

1.3K 84 0
                                    

Bagian Tujuh

Langkah kaki jenjangnya menyusuri trotoar jalan raya dengan segan. Pasalnya hari ini ia tidak dijemput oleh Bapak, sedangkan Ibuk... nomornya tidak aktif. Lantas option yang dapat ia lakukan sekarang adalah naik becak atau....

"Dek Dhaniaa!!" panggilan dari seseorang membuat perempuan yang berjalan menunduk itu terkesiap, pandangannya mencari-cari siapa yang memanggilnya.

"Disiniii!" Alisnya bertaut saat mendapati seorang perempuan berjilbab milo tersebut tengah berada di seberang jalan, melambai-lambaikan tangan padanya. Aida, gumam Dhania.

Aida menjalankan motornya mendekati posisi Dhania berada.

"Ayoo!" ucapnya dengan menunjuk jok motor belakang, yang langsung diangguki oleh adiknya itu.

"Jam berapa tadi nyampek rumah?" tanya Dhania, saat keduanya membelah jalanan daerah SS yang tidak terlalu penuh.

"Tadi, pas sampean dan Nou udah berangkat sekolah." jawab Aida, dengan tetap fokus menatap jalan.

Dhania mengangguk-angguk sembari melihat kakaknya dari kaca spion.

"Ku bawain gudeg kaleng buat sampean, Ada bingkisan juga dari tante Fenty," ucap Aida, matanya melirik sebentar ke arah spion untuk melihat adiknya.

Kedua bola mata Dhania berbinar, "Assiiik! Buat aku banyak kan? Bawa Brownies Ubi Ungu sama Cokelat Monggo juga nggak?" seru Dhania senang, "Tante nitipin apaan?" lanjutnya.

Aida mengendikkan bahu, untuk menjawab pertanyaan kedua adiknya.

Dhania yang duduk di belakang kakaknya hanya ber-O ria, sembari sibuk menebak-nebak apa isi oleh-oleh tante kesayangannya itu. Perlengkapan sekolah dari brand luar negeri? Tas sekolah Korea? Sepatu branded?

Setelah sampai rumah, Dhania turun lebih dulu, untuk membuka pintu gerbang rumahnya agar Aida bisa memasukkan motornya ke dalam garasi.

"Assalamu'alaikum." ucap Dhania, dengan mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali.

"Wa'alaikumsalam." sambut Ibuk, bersemangat.

"Kamu mandi gih, setelah salat maghrib kita makan malam bersama." Ibuk mengusap bahu Dhania dengan lembut, sebelum anaknya itu masuk ke kamar.

Dhania menaruh tasnya di meja belajar, lantas ia langsung berjalan ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia masih sempat meraba-raba isi kardus besar dari tante Fenty. Tante yang menyanyanginya seperti anak kandungnya sendiri, sampai-sampai dulu pernah dikira bukan anak Ibuk.

Sesudahnya mandi, Dhania keluar dari kamar mandi dengan melingkarkan handuk di lehernya, ia masuk ke kamarnya dan terkesiap saat melihat seseorang duduk di sofa depan TV.

"Heii!" Sapa perempuan berambut hitam legam itu dengan memamerkan sebuah lesung pipi yang tercetak di kedua pipinya.

"Hmm." Balas Dhania dengan menggosok-gosok rambutnya yang masih basah. Perempuan yang memakai baju tidur motif beruang itu adalah Aida, kakak perempuannya yang menimba ilmu di Kota Gudeg.

"Tumben mandi?" Ucap Aida seraya mengambil majalah Bobo di dekatnya.

"Lhaa, emang kapan aku nggak mandi?" Ujar Dhania sembari ikut duduk di sofa, salah satu tangannya mengambil remote TV.

"Halah, bohong! Orang ibuk bilang, kalau sampean jarang mandi, pernah juga ke sekolah nggak mandi jugaa! Jorok tau dek!" tandasnya dengan terus menghina adiknya yang alergi air tersebut.

"Biarin! Lagian nggak bagus mandi keseringan, Ai!" balas Dhania dengan menoleh ke arah kakaknya, lantas kembali menatap layar TV yang menempel di dinding kamarnya.

Aida mendengus.

"Udah selesai KRS-nya? Sampai kapan liburannya? Lama yaa?" ucap Dhania, matanya menatap fokus film kartun.


__________


Ba'da salat maghrib berjamaah. Keluarga Firdaus berkumpul, duduk mengitari meja makan berbentuk persegi panjang. Enam kursi terisi semua, karena si sulung Aida datang. Nasi dan lauk pauk sudah terhidang diatas meja makan.

"Nou mau ayam goreng!" seru Naura antusias, saat Ibuk menaruh sepiring ayam goreng yang masih hangat.

"Nou mau berapa, Nak?" tanya Ibuk.

Naura mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya tinggi-tinggi. Ibuk mengambilkan dua potong ayam goreng, lalu ditaruhnya di piring Naura. Gadis cilik itu bersorak gembira. Sedangkan balita laki-laki yang duduk didekat Aida memperhatikan lauk pauk di atas meja dengan tatapan bingung.

"Kalau Adik kecil, mau lauk apa?" tanya Aida, akhirnya setelah memperhatikan bocah laki-laki di dekatnya.

"Mau ayak akak Nou, ayam goyeng. Hua." jawab balita beriris hitam pekat itu, jarinya menunjuk piring Naura. Aida ikut melirik piring Naura.

"Ini punya kakak Nou, kamu ambil yang di piring itu aja!" sahut Naura yang mendengar percakapan antara si bungsu dengan Aida, dengan sengit.

Sejak ada balita laki-laki di rumah ini, Naura sering kali merasa cemburu saat adiknya itu lebih diprioritaskan oleh Bapak dan Ibuk. Padahal perbedaan usia antara mereka cukup jauh, daripada kedua kakaknya. Aida dan Dhania, yang hanya terpaut tiga tahun umurnya. Namun, kalau di tingkat pendidikan mereka hanya berjarak satu tahun, sebab Dhania mengambil kelas Akselerasi sejak duduk di bangku SMP sampai saat ini.

"Iya Nou, itu punya kamu kok. Lagian adik kan cuma ngomong aja kalau dia ingin kayak kamu lauknya." Ibuk menenangkan. "Tidak boleh begitu lagi ya, Nou. Sama saudara nggak boleh kayak begitu, harus rukun. Janji sama Ibuk?"

"Heem. Adik ikut-ikutan aja. Huh! Nyebelin. Gara-gara adik, kakak Nou jadi dimarahi ibuk." dengus Naura kesal. Sedangkan si adik hanya diam saja.

"Nou, dihabiskan ayam gorengnya. Nanti nangis loh ayamnya kalau nggak dihabiskan." kini Bapak ikut bersuara. Naura pun menurut, ia memakan ayam goreng dengan lahap.

Dhania yang sedari tadi menikmati makan malamnya, kini beralih mengambilkan ayam goreng untuk adik bungsunya. Balita yang mempunyai lesung pipi itu tersenyum senang.

"Bilang apa hayo?" tanya Dhania sambil menundukkan kepalanya.

"Teyima kaciiih, akak." jawab si balita dengan mulut penuh. Kedua pipinya mengembung.

Bapak dan ibuk tertawa menyaksikan kelucuan si bungsu. Suasana malam itu terlihat begitu hangat dan harmonis. Yah.. harmonis.

"Bagaimana kuliah kamu, Nduk Aida?" tanya Bapak disela-sela makan malam.

"Alhamdulillah, sae Pak. Nanti, semester depan katanya ada rencana ke RSJ Lawang." jawab Aida dengan menikmati makanannya.

Bapak mengangguk-angguk, "Bagus itu," Meneruskan makannya, lalu kembali berkata, "Oh, Bapak baru ingat. Disana Paklikmu lagi bangun proyek Tol baru, katanya. Nanti bapak telponkan, biar nemuin kamu sebentar disana ya?"

"Mboten pun pak, paklik pasti sibuk. Nanti ganggu."

"Yowis, kamu belajar sing rajin ya Nduk, baik-baik di kota orang."

Tanpa mereka sadari sepasang mata memperhatikannya dengan senyum getir, seolah ada yang tertahan dalam hatinya.

Keakraban mereka membuatnya sedikit iri. Namun ia belum ingin bercengkrama akrab lagi dengan Bapak, entahlah kenapa.

"Dhan?"

"Hmm?" sahut Dhania kaget.

"Kalau dipanggil ya mbok jawabnya, iya gitulo.." sindir Bapak.

Aisha menoleh, "Mas!" sembari menekankan ucapannya.

Dhania bergeming tak menyahuti, ia benci dengan semuanya.


Bersambung

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang