Bagian Sembilan Belas
"Lihat, lihat senyum manis itu." tunjuk Aisha, yang sebenarnya sudah diketahui oleh Taufan, karena ia berada di depannya.
"Iya, dek." angguk Taufan, tanpa ia sadari kalau bibirnya juga membentuk lengkungan ke atas.
Sudah lama sekali Taufan tak melihat putrinya tersenyum seperti itu, bahkan meskipun putrinya setiap hari ada di rumah -seusai urusan sekolah usai-, dia jarang sekali menampakkan senyum khasnya. Bukan karena lesung pipi, seperti yang Aida punya, bukan juga gigi gingsul, seperti yang Naura miliki, dan bukan juga mata merem saat tersenyum seperti Ibra, yang membuatnya begitu khas. Namun, karena dia punya gigi kelinci yang unik.
Masih hangat dipikirannya, dulu, saat Dhania bersekolah SD, ia sering menangis sepulang sekolah, gara-gara dikatain kelinci vampir beralis sincan, oleh teman-temannya. Sampai, Taufan harus mengantarkannya ke dalam kelas, dan ia juga memberi nasihat pada anaknya itu, kalau mempunyai gigi kelinci dan beralis tebal itu tidaklah buruk atau memalukan, melainkan sebuah keunikan. Karena tidak semua orang memilikinya. Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, Dhania tumbuh menjadi gadis yang percaya diri, manis dan tentu saja berprestasi. Mengingat semua itu, Taufan menjadi rindu dengan masa kecil anaknya itu.
__________flashback ; on.
"Pak, bapak! Dengerin aku toh, pak!" panggilan dari Dhania, membuat Taufan mau tak mau menoleh ke arah tempat anak perempuan tersebut berada. Karena sejak beberapa menit lalu, dia terus saja merajuk ingin diperhatikan. Entahlah ada apa gerangan.
"Apa toh, genduk cantik?" sahutnya, dengan tersenyum.
"Pak, aku cantik toh?" tanya Dhania kecil, saat memamerkan senyumnya dengan menampakkan gigi kelincinya.Taufan mencebik sembari mengendikkan bahu, lantas kemudian saat anaknya itu cemberut, ia mencubit pipi Dhania gemas. "Tentu dong, anak bapak ora ana sing ora ayu, kecuali masmu. Hehe,"
__________flashback ; off.
Saat pintu tiba-tiba dibuka secara mendadak, keduanya langsung kaget dan otomatis mundur beserta ingatan masa kecil Dhania yang seolah juga ditarik paksa untuk mundur.
"Selamat siang, pak Hakim. Apa kabar?" sapa dokter visite, yang baru saja berbincang ria dengan Dhania.
"Ya, selamat siang. Alhamdulillah kabar saya baik, bagaimana dengan njenengan?" balas Taufan, semringah.
"Saya baik juga. Ngomong-ngomong, kondisi Halwa sudah membaik. Anak itu sangat aktif, saya sampai kewalahan saat dia terus saja mengajak saya mengobrol, sampai-sampai saya lupa kalau sedang visite. Hehehe," ujar dokter tersebut dengan tertawa renyah.
Taufan tertawa, "Alhamdulillah, kalau dia sudah baikan. Saya sedikit khawatir dengan kondisinya, karena melihat dia muntah-muntah terus-terusan pada sabtu dini hari kemarin. Terima kasih, dok."
"Ah, bukan apa-apa pak. Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai dokter saja." elak dokter malu-malu. Kemudian dokter tersebut pamit untuk melanjutkan visite. Ngomong-ngomong kenapa si dokter bisa tahu profesi Taufan, adalah karena Taufan pernah menjadi hakim dalam kasus perceraian si dokter dengan istrinya. Untungnya, perceraiannya tidak jadi, karena mediasi yang disarannya berhasil. Oleh karena itu juga, mereka jadi akrab.
"Dek, adek pulangnya naik taksi aja ya? Hati-hati," pesan Taufan pada Aisha yang sedari tadi menjadi penonton bersama suster.
Aisha mengangguk, "Iya, mas."
Sebelum Taufan masuk ke dalam ruang inap, Aisha mencekal lengannya.
"Mas, percaya sama Dhania. Dia nggak akan seperti Aiman. Yakin sama Allah," Nasihat Aisha sebelum pulang untuk ganti baju.
Taufan mengangguk dengan setengah hati, salah satu tangannya yang bebas membuka gagang pintu. Hawa sejuk dari AC langsung menyapu wajahnya saat sudah memasuki ruangan. Lantas ia langsung saja duduk di sofa. Salah satu tangannya merogoh kantung celananya, diambilnya satu buah baterai remote control TV LCD yang menempel di dinding, sembari memasangnya di badan remote control ia sedikit mengintip ke arah brankar anaknya, yang kini mungkin sudah terlelap, karena efek samping obat yang diberi dokter.
Klik. Layar HD TV langsung menampilkan acara berita siang, reporter yang memakai kemeja magenta tengah melaporkan sebuah berita tentang persidangan kasus mega korupsi yang terkesan bertele-tele itu. Karena banyaknya drama king yang dibuat-buat oleh tersangka."Pagi tadi, tersangka...."
"Uhuk... Uhuk." suara batuk dari balik pembatas selebar kurang lebih satu meter itu membuat Taufan menoleh, fokusnya kini teralihkan pada anak perempuannya yang beranjak dewasa tersebut. Meskipun umurnya masih dibawah umur, alias belum genap tujuh belas tahun, dia sebenarnya sudah mulai mempunyai pemikiran yang luar biasa mengenai kehidupannya dan lainnya sejak memutuskan untuk memotong satu tahun disekolah tingkat pertamanya dulu. Yah, meskipun begitu, tetap saja sebagai sosok bapak yang sangat sangat sangat menyayangi anak-anak perempuannya daripada anak laki-lakinya, Taufan merasa jiwa perlindungannya ingin selalu menjadi tameng bagi anak-anaknya, meski kadang sikap egois dan over protektifnya kerap kali membuat anak-anaknya kesal. Lantaran, sang bapak terkesan mengekangnya.
Drrt... drttt...
Suara dari handphone jadulnya yang memekakkan telinga itu, memecah lamunannya. Segera ia mengeluarkan handphone-nya dari saku, lalu menempelkannya di telinga kanannya.
"Halo, assalamu'alaikum. Ya, pak?"
Dhania yang sebenarnya belum benar-benar terlelap, diam-diam menyimak percakapan sang bapak dengan orang dalam telepon, mungkin rekan kerjanya di pengadilan. Yang mengabarkan jadwal sidang, mungkin saja. Karena mengingat besok hari senin, hari dimana, biasanya bapak sibuk di kantor pengadilan agama. Ngomong-ngomong soal hari senin besok, Dhania baru ingat kalau besok ada ulangan bahasa Arab. Ah, kenapa seminggu yang lalu ia begitu ceroboh begitu. Yah, dia sudah satu minggu mendekam di kamar VIP ini, karena menurut dokter yang menanganinya ia butuh bedrest untuk memulihkan kesehatannya.
"Iya pak, baiklah. Besok pagi saya kesana. Iya, anak saya masih di rumah sakit. Tidak apa, kondisinya sudah membaik sekarang. Insyaa allah, hari selasa dia boleh keluar dari RS." suara bapak kembali terdengar di telinga Dhania.
"Waalaikumsalam warahmatullah wa barakatuh." akhiri Taufan dengan helaan napas lega. Lantas dirinya beranjak mendekati brankar anaknya.
Seolah tahu bahwa Bapak akan kesana, Dhania buru-buru memejamkan matanya dan tak berselang lama telinganya mendengar kalimat yang diucapkan oleh Bapak.
"Nak, cepet sembuh yaa, bapak trauma sama rumah sakit."
Air mata Dhania mengalir ke pipinya, saat Bapak keluar dari ruangan.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ketua Rohis
Teen Fiction(DO)AKAN TERBIT♡♡ 📍 Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Indonesia. 12 maret 2018 - 14 juli 2020 -- Dhania, dihukum oleh ayahnya untuk ikut suatu kegiatan yang diselenggarakan ekstrakulikuler Rohis karena telah berbuat dosa kepada Allah. Nadine sebagai...