Bagian Empat Belas
"Ayo ayo, yang tidak mengumpulkan tugas dari saya minggu lalu, siapa saja?" ucap bu Sanika, sembari menatap murid kelas XII ESC satu persatu. Sedangkan, tangannya sibuk membolak-balik buku absensi.
Tak ada yang menyahuti. Satu kelas sibuk bergumam dengan teman-temannya, saling meyakinkan kalau dirinya benar-benar sudah mengumpulkan tugas fisika.
"Na, aku udah ngumpulin tugas kan ya?" pasti Gemma, dengan mencolek-colek bahu Kirana.
"Udah Gem!" angguk Kirana, mantap.
"Ini bukunya kurang dua lho! Kalau nggak ada yang ngaku, saya kasih tugas tambahan bareng-bareng lho ya." seru bu Sanika, lagi. Matanya berkeliaran kemana-mana, dari balik kacamata.
"Huuuh.." seru dari murid kelas XII ESC, ramai-ramai.
"Apa, hah huh hah huh! Mau saya kasih nilai C, kalian? Dasar!" ancam bu Sanika, sambil melotot.
Tak ada suara, untuk membalas ancaman bu Sanika barusan.
"Bu, maaf. Minggu lalu sudah saya hitung, sebelum saya kumpulkan. Pas ada dua puluh. Mungkin ibu salah hitung atau ...." kata Madani, sebelumnya di dahului mengangkat tangan.
Satu kelas langsung terkesima, dengan melihat Madani takjub. Betapa beraninya ia menyahuti bu Sanika, seorang guru wanita yang selain terkenal killer, beliau juga guru yang memegang teguh, "Pasal 1, guru dan perempuan selalu benar dan pasal 2, jika guru dan perempuan salah, maka kembali ke pasal satu."
"Hei hei, kamu kira saya ini nggak bisa berhitung apa! Bisa-bisanya kamu menyalahkan saya salah hitung! Kamu pikir saya masuk jurusan kuliah pendidikan fisika di universitas negeri itu menyogok?"
Bam! Sebuah balasan sengit baru saja di lontarkan oleh wanita yang sudah lama menjanda itu, kepada muridnya. Murid kelas XII ESC hanya diam, menontonnya, sembari berharap kalau di perdebatan kali ini, muridnya lah yang akan menang. Semoga saja.
"Maaf bu, saya hanya--"
"Nama kamu siapa?" ujar bu Sanika, menggunting kejam ucapan Madani.
Satu kelas berbisik-bisik, sambil menerka-nerka kalau Madani akan diberi tanda minus di daftar absensi oleh bu Sanika.
"Madani, bu." jawab Madani, mantap.
"Oh, Adskhan Madani. Wakil ketua kelas?" pasti bu Sanika, dengan nada tegas.
Madani mengangguk mantap, "Iya, benar bu."
Selesai mengomeli wakil ketua kelas, bu Sanika diam, seraya mengecek absensi tugas lagi. Matanya menatap tajam buku bersampul kuning itu, dengan sesekali membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
"Halwatuzahraaa!" panggil bu Sanika.
Dhania yang tadinya asik menggambar doodle disampul buku catatan fisika itu langsung mendongak kaget mendengar namanya yang indah disebut oleh bu Sanika.
"Iya, bu?" sahut Dhania, malas. Mood-nya hancur sejak semalam.
"Sebagai murid kesayangan saya, kenapa kamu tidak mengumpulkan tugas, Zahraa?" tanya bu Sanika, tegas. Suara cemprengnya membuat satu kelas bergidik.
"Zahra, kamu itu murid kesayangan saya selama ini. Kenapa kamu bisa teledor seperti ini sih? Sampai tugas yang tidak seberapa itu, kamu bisa lupa--"
"Tapi, saya sudah mengumpulkan tugas kok, bu. Malahan saya menyelesaikannya setelah ibu keluar dari kelas." sela Dhania cepat.
"Benaran?" yakin bu Sanika,
"Iya bu. Benaran." angguk Dhania,
"Ah, saya tidak percaya! Buktinya buku kamu nggak ada disini tuh." geleng bu Sanika,

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ketua Rohis
Teen Fiction(DO)AKAN TERBIT♡♡ 📍 Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Indonesia. 12 maret 2018 - 14 juli 2020 -- Dhania, dihukum oleh ayahnya untuk ikut suatu kegiatan yang diselenggarakan ekstrakulikuler Rohis karena telah berbuat dosa kepada Allah. Nadine sebagai...